Gejala Demensia | OTC Digest

Gejala Demensia

Dalam suatu kesempatan, Margaret Thatcher tampak bingung saat bicara mengenai konflik Bosnia dan Falklands. Itu terjadi tahun 2000, saat Perdana Menteri (PM) perempuan pertama di Inggris itu berusia 75 tahun. Kejadian itu membuat Carol Thatcher menduga ibunya menunjukkan tanda demensia, sebagaimana dia tulis dalam A Swim-on Part in the Goldfish Bowl: A Memoir. Kenyataannya, kondisi M. Thatcher makin memburuk. Mengingat kata-kata dan kejadian atau berinteraksi dengan dunia sekitar, menjadi hal yang sulit baginya. Ia bahkan lupa bahwa suaminya, Sir Denis Tatcher, sudah meninggal bertahun lalu.

Gejala demensia muncul setelah Tatcher mengalami beberapa kali serangan stroke ringan. Demensia tidak hanya merenggut kehidupannya, tapi juga keluarganya. Dari luar, tampilan dan tindakan penderita demensia tampak tidak berubah. “Sebenarnya, perubahan sedang terjadi. Mereka berada di dalam dunia lain yang tidak bisa kita masuki,” ungkap Carol dalam bukunya. Perempuan yang dijuluki the Iron Lady akhirnya tutup usia pada 8 April 2013 di usia 87 tahun, akibat stroke.

Demensia merupakan masalah besar di seluruh dunia. Secara global, prevalensi (angka kejadian)-nya 3,8% pada kelompok usia 70-74 tahun. Indonesia perlu waspada. “Pada kelompok usia yang sama, prevalensinya di Yogyakarta mencapai 22,5%,” ungkap Dr. dr. Yuda Turana, Sp.S.

Ini berdasar hasil studi tahun 2012, yang membandingkan prevalensi demensia antara dunia dan Indonesia. Penelitian ini cukup besar dengan sekitar 2.000 sampel. Yogyakarta dipilih karena penduduknya lebih tua dibanding provinsi lain. “Yogyakarta mewakili penduduk Indonesia 15 tahun mendatang,” imbuh Dr. dr. Yuda.

Risiko demensia meningkat seiring bertambahnya usia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2015 menunjukkan, penduduk Indonesia yang berusia >60 tahun mencapai 21,4 juta jiwa. Kelompok ini berisiko mengalami demensia. Apalagi BPS juga menemukan bahwa 4,07 juta orang usia >60 tahun mengalami kesulitan mengingat dan konsentrasi, yang merupakan gejala dari demensia. ADI (Alzheimer’s Disease International) memperkirakan, penderita demensia di Indonesia sekitar 1,2 juta, dan pada 2015 akan masuk dalam 10 negara dengan angka demensia terbanyak di dunia dan Asia Tenggara.

Demensia berdampak besar terhadap beban keuangan. Pada 2010, demensia menelan biaya pengobatan dan pengeluaran lain hingga US$ 604 miliar, atau >1% produk domestik bruto global. Angka ini lebih besar ketimbang pendapatan Exxon Mobil. Beban social ikut meningkat; bukan hanya bagi pasien, tapi juga keluarganya. Terasa menyedihkan melihat orangtua yang kita cintai tidak lagi ingat kepada anak-anak, cucu dan hal-hal yang terjadi di sekitarnya.

 

Bukan hanya pikun

Demensia sering diartikan sebagai kepikunan; sebenarnya istilah ini kurang tepat. Memang, demensia identik dengan hilangnya memori. Namun, hilang memori belum tentu demensia. Demensia bukan penyakit tunggal. Demensia adalah istilah umum untuk menjelaskan gejala perburukan memori serta kemampuan berpikir, berkomunikasi dan bersosialisasi yang cukup berat hingga mengganggu aktivitas sehari-hari. Demensia umumnya bersifat progresif; secara perlahan gejalanya makin memburuk.

Demensia muncul akibat kerusakan sel-sel otak. Kerusakan ini mengganggu kemampuan sel otak berkomunikasi satu sama lain. Komunikasi antar sel otak terganggu, terganggu pula kemampuan berpikir, perilaku dan perasaan seseorang. Sebagai infomasi, otak memiliki banyak bagian, masing-masing dengan fungsi dan perannya sendiri. Ada yang berperan dalam memori, bagian lain bertanggungjawab mengambil keputusan, dan lain-lain. Bila sel-sel di bagian tertentu rusak, bagian otak tersebut tidak bisa berfungsi sebagaimana mestinya.

Skrining atau mendeteksi demensia tidak mudah. Gangguan ginjal bisa dideteksi melalui urin, gangguan jantung dengan EKG. Untuk periksa otak, harus dengan MRI yang mahal. Namun, gejala demensia bisa dikenali, seperti yang ditangkap putri Margaret Thatcher.

Orang dengan demensia biasanya bermasalah dengan memori jangka pendek. Tanda yang mudah dikenali, misalnya, sering mencari-cari dompet atau kunci, lupa makan, sulit mengingat janji pertemuan, atau tersesat saat berjalan-jalan di lingkungan sekitar. “Hati-hati kalau mulai sering lupa. Bisa jadi sudah ada kerusakan sel otak,” imbuh Dr. dr. Yuda. “Pemeriksaan kognitif merupakan cara paling sederhana untuk mendeteksi demensia.”

 

Penyebab

Demensia banyak terjadi di usia 65 tahun ke atas. Kita bersyukur, usia harapan hidup di Indonesia meningkat. Dari 68,6 tahun pada 2014 menjadi 70,8 tahun pada 2015; diperkirakan menjadi 72,2 tahun di 2035. Di sisi lain, berarti akan makin banyak penyandang demensia, meskipun demensia sebenarnya bukan bagian dari proses penuaan alami.

Demensia bisa karena berbagai hal. Yang paling banyak menyebabkan demensia yakni penyakit Alzheimer. Sekitar 60-80% kasus demensia progresif di usia lanjut, disebabkan penyakit ini. Dua penyebab yang dicurigai memicu Alzheimer yakni “plak” dan “simpul”. Plak adalah endapan pecahan protein beta amiloid, yang tertimbun di ruang-ruang antar sel-sel saraf. Simpul terbentuk dari serat-serat protein tau yang saling berjalinan, dan menumpuk di dalam sel.

Hingga kini belum ada obat yang bisa menghentikan gejala Alzheimer, dan  mampu mengembalikan otak seperti semula. Beberapa obat bisa memperlambat gejala yang memburuk dan membantu otak bekerja lebih lama. Namun hanya berhasil pada sebagian orang dan efeknya rerata bertahan hanya 6-12 bulan.

Nomor dua terbanyak yakni demensia vaskular, yang terjadi setelah stroke. Kondisi lain penyebab gejala demensia, misalnya tiroid dan kekurangan vitamin. Demensia yang disebabkan dua hal ini bersifat irreversible; gejala demensia akan hilang bila penyebabnya diatasi dengan tepat.

Faktor risiko vaskular misalnya hipertensi (tekanan darah tinggi). Demensia bisa terjadi tanpa  didahului serangan stroke. “Hipertensi yang tidak terkontrol cenderung berujung pada gangguan fungsi kognitif,” ujar Dr. dr. Yuda. (nid)

 

Bersambung ke: Hipertensi, Faktor Risiko Demensia