Beban Berat Alergi | OTC Digest

Beban Berat Alergi

Ada bayi yang pada pipinya timbul ruam merah saat minum susu formula. Ini salah satu tanda alergi. Alergi sebenarnya merupakan kondisi saat tubuh bereaksi berlebihan terhadap bahan tertentu, yang disebut alergen. “Saat ada benda asing masuk, tubuh berusaha mengeluarkannya, namun kalau reaksinya berlebihan, akan mengganggu tubuh kita sendiri,” terang Prof. Dr. dr. Samsurizal Djauzi, Sp.PD-KAI, FINASIM, Guru Besar FK Universitas Indonesia, Jakarta.

Misalnya ketika memasuki ruangan berdebu. Secara alamiah, kita akan bersin-bersin dan batuk. Pada orang tanpa alergi, gangguan itu segera hilang saat meninggalkan ruangan tersebut. “Namun pada mereka yang pilek alergi, bisa berkepanjangan hingga berhari-hari. Yang memiliki asma bisa timbul serangan, yang kalau tidak segera diobati, bisa masuk UGD,” imbuhnya.

Angka alergi pada anak di indonesia cukup tinggi, meski tidak ada data yang pasti. Dari penelitian yang dilakukan di SD (sekolah dasar) di beberapa kota di indonesia, yang paling banyak adalah pilek alergi (20%). Asma 5-10%, dan alergi pada kulit sekitar 5%.

Sejak lahir hingga usia 2-3 tahun, anak paling sering mengalami alergi susu sapi karena makanan inilah yang paling banyak dikonsumsi anak, sementara saluran pencernaannya belum matang. Akibatnya, muncul alergi susu sapi; ciri-cirinya yang paling mudah yakni ruam kulit disertai diare berdarah. Di seluruh dunia, alergi susu sapi mencapai 3-7%. Temuan di RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) tidak berbeda jauh, dan ada kecenderungan meningkat. Sekitar 7 tahun lalu angkanya 3%, dan sekarang naik hingga 4,1%. “Setelah saluran cerna mulai matang, nanti akan toleran sendiri,” ujar Dr. dr. Zakiudin Munasir, Sp.A(K) dari FKUI/RSCM, Jakarta.

Ada yang disebut allergy march. Bila alergi susu sapi tidak ditangani dengan baik mungkin akan sembuh sendiri. Namun, anak akan bermain keluar sehingga terekspos lebih banyak alergen. Di masa mendatang alergi bisa berkembang menjadi rinitis (pilek alergi), dan bila ini juga didiamkan saja, berpotensi menjadi asma. “Sejak anak dalam kandungan sampai ia berusia 2-3 tahun alergi dominan, setelah itu hilang. Nanti muncul lagi begitu kondisi fisiknya kurang baik. Jadi kalau asma anak sembuh, jangan berpuas dulu; bisa saja nanti muncul lagi,” tutur Dr. dr. Zaki.

 

Bakat alergi

Tumbuh kembang anak dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Bakat alergi, diturunkan secara genetik. “Kalau ibu menderita alergi, bisa menurunkan faktor 30% kepada bayinya. Bila ayah juga alergi, maka kemungkinannya lebih besar lagi,” ucap Dr. dr. Noroyono, Sp.OG dari FKUI/RSCM, Jakarta. Kondisi tertentu selama kehamilan misalnya yang memicu respon inflamasi (peradangan), juga memperbesar risiko anak memiliki alergi.

Yang memicu inflamasi antara lain obesitas atau kenaikan berat badan (BB) berlebih; terlalu banyak konsumsi karbohidrat, protein dan lemak; kurang konsumsi sayur. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, konsumsi sayur masyarakat indonesia hanya 15%; secara nasional, 83-84% tidak makan sayur.

Konsumsi protein, lemak dan karbohidrat apalagi dengan indeks glikemi (IG) tinggi akan menimbulkan derajat inflamasi ringan-sedang. “Inflamasi yang seperti ini akan menimbulkan suatu reaksi aktivasi dari sistem imun, yang dapat mendisregulasi atau membuat regulasi yang salah sehingga pembacaannya menimbulkan reaksi, salah satunya alergi,” papar dr. Noroyono.

Peranan ibu sangat besar dalam mencegah terjadinya penurunan bakat alergi ke anak. Pemeriksaan pra natal tidak cukup hanya dengan pemeriksaan tensi, BB dan USG; harus lebih detil lagi. Diskusikan dengan dokter kandungan mengenai riwayat alergi dalam keluarga, sehingga bisa dipikirkan pola makan dan kenaikan BB yang sesuai.

 

Beban akibat alergi

“Penyakit infeksi bisa sembuh, tapi kalau alergi biasanya berkepanjangan dan memakan biaya besar untuk berobat; kualitas hidup anak pun menurun,” ujar Prof. Samsurizal. Anak dengan alergi akan memberi beban biaya yang besar bagi keluarga dan negara. Untuk obat dan biaya perawatan pada layanan kesehatan selama enam tahun, bisa mencapai USD 34,6 juta (sekitar Rp 445 miliar).

Belum lagi hal-hal yang tidak bisa dihitung dengan uang, misalnya kehidupan sosial pasien dan keluarganya. Akibat alergi, anak sakit-sakitan sehingga sering tidak masuk sekolah, sulit berpikir saat alerginya kambuh, dan tidak bisa berolahraga. Nilai dan prestasi belajarnya di sekolah bisa turun sehingga kepercayaan dirinya bisa ikut turun. Orangtua pun terpaksa cuti bekerja karena harus membawa anak berobat. (nid)

 

Bersambung ke: Mencegah dan Mengontrol Alergi