Jangan sepelekan bila mengalami lecet melepuh seperti sariawan di daerah V, terutama saat hamil. Bisa jadi, itu tanda dari herpes genital. Bila dialami saat hamil, bisa membahayakan janin dan bayi saat lahir nanti. Herpes yang dimaksud adalah infeksi yang disebabkan oleh virus Herpes simplex (HSV). Ada dua strain utama HSV, yakni HSV-1 dan HSV-2. “Herpes tipe 2 menyebabkan herpes genital; inilah yang ditakutkan,” ujar dr. Ardiansjah Dara Sjahruddin, Sp.OG dari RS Siloam, Jakarta. Adapun HSV-1 menyebabkan luka di daerah mulu; dalam kasus yang jarang, juga bisa menyebabkan herpes genital.
Herpes menyerang kulit dan membran mukus (lapisan lendir) yang melapisi daerah genital (kemaluan) dan mulut. Hanya dengan goresan halus yang terjadi akibat kontak kulit (atau membran mukus) dengan luka aktif, virus bisa menular. Meski, bisa saja terjadi penularan meski penderita tidak menunjukkan gejala apapun. Pada HSV-2, kontak kulit utamanya berupa hubungan seksual, sedangkan pada HSV-1 bisa dengan berciuman. HSV-2 juga bisa menyebabkan herpes di sekitar mulut bila terjadi hubungan seksual secara oral.
Sekali masuk, HSV tidak pernah hilang dari tubuh. Di dalam tubuh, virus masuk ke ujung saraf sensori dan otonom, dan “tidur” di dalam ganglion saraf. Ini karena sistem imun bisa mengontrolnya. Namun virus ini diam-diam mengintai, menunggu kesmepatan untuk bisa bangkit dan menyebabkan lesi/luka.
(Baca juga: Demam saat Hamil Membahayakan Janin, Segera Obati)
Bila ibu curiga mengalami herpes, lakukanlah pemeriksaan lab anti HSV-1 dan anti HSV-2. “Kalau hasilnya positif, ibu harus segera diobati dengan antivirus. Makin tinggi jumlah virus di badan, makin besar potensinya untuk masuk ke janin,” tutur dr. Dara. Memang, tidak selalu virus memengaruhi janin; bahkan ditengrai kemungkinannya kecil. Namun bukan berarti ibu bisa mengabaikannya. Lebih baik segera periksa dan diobati, daripada terlambat. Penularan di dalam rahim bisa menyebabkan keguguran, kelainan bawaan, hingga bayi mati saat dilahirkan. Kematian perinatal mencapai 50%.
Herpes saat kehamilan bisa membahayakan janin di kandungan, maupun saat bayi lahir. Gianluca Straface, dkk dalam studinya (2012) menyebutkan, penularan dari ibu ke janin di dalam rahim menyebabkan 5% kasus infeksi HSV pada bayi baru lahir; sebagian besar (95%) terjadi saat persalinan. Risiko terjadinya infeksi di dalam rahim paling tinggi pada kehamilan 20 minggu pertama. Ini berarti ibu terinfeksi herpes sebelum hamil atau dalam 20 minggu pertama kehamilan.
Menariknya, penularan saat persalinan justru kecil risikonya (<1%) bila ibu sebelum hamil atau di awal kehamilan. Risikonya justru tinggi bila ibu baru terinfeksi herpes genital di akhir kehamilan. Sebabnya, bila ibu terinfeksi awal, janin akan mendapat antibodi HSV dari ibu. Sedangkan bila infeksi terjadi di akhir kehamilan, tubuh ibu belum sempat membentuk antibodi terhadap virus tersebut, sehingga bayi tidak mendapat proteksi.
(Baca juga: Terapi Diabetes pada Ibu Hamil)
Pengalaman dr. Dara, saat usia kehamilan mencapai 9 bulan, ibu yang menderita herpes genital akan kembali diperiksa. “Ini terkait dengan proses persalinan. Bila ada (lesi herpes) di jalan lahir, virus bisa masuk ke saluran anfas atau mulut bayi saat bayi lahir,” jelasnya. Bila ditemukan lesi herpes menjelang persalinan, biasanya dokter menyarankan ibu melahirkan secara Caesar, untuk menghindari penularan lewat jalan lahir.
Pengobatan herpes yakni dengan obat antivirus, selama 1-2 minggu. Mengingat herpes genital adalah infeksi menular seksual (IMS), perlukah suami juga diobati? “Kalau tidak ada lesi herpes, tidak perlu. Yang penting jaga daya tahan tubuh,” ujar dr. Dara. Ibu hamil perlu diobati agar jumlah virus tidak naik dan mengancam janin dalam kandungan. “Apalagi, orang hamil itu daya tahan tubuhnya cenderung turun,” imbuhnya. (nid)
.