Waspadai Depresi Pada Remaja dan Risiko Bunuh Diri | OTC Digest

Waspadai Depresi Pada Remaja dan Risiko Bunuh Diri

Dunia remaja adalah dunia yang paling indah,” begitu kata orang. Ternyata di balik indahnya dunia remaja, mereka juga rentan mengalami depresi.

Dalam jurnal Lancet 2007 dikatakan sekitar 30% dari total populasi di seluruh dunia mengalami gangguan mental, termasuk depresi. Tercatat sekitar 800 ribu orang per tahun di dunia memilih bunuh diri akibat gangguan mental ini.

Untuk kasus Indonesia, Riskesdas 2018 mencatat depresi dialami oleh sekitar 6,1% (15,6 juta) orang dewasa. Sementara pada remaja menurut dr. Margarita Maramis, SpKJ (K), Ketua Divisi Mood Disorder Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), angkanya sekitar 4-5% dari total populasi.

“Biasanya masalah cinta, tuntutan dari orangtua, atau perundungan (bullying). Masalah-masalah psikososial tersebut berpengaruh pada kejiwaan tiap individu. Perkembangan otak tiap individu berbeda dari semasa anak-anak sampai dewasa, mereka yang mengalami trauma psikis satu kali dengan trauma berkali-kali akan menimbulkan dampak yang berbeda di otak,” terang dr. Margarita di sela-sela acara Lundbeck Regional Symposium, di Jakarta (22/6/2019).  

Ia menekankan pentingnya sedini mungkin untuk mengatasi trauma mental yang dialami oleh anak-anak/remaja. Misalnya jika anak mengalami perundungan, secara normal otak akan mengantisipasi. “Ini menjadi seseorang yang pernah di-bully tidak nyaman, membuatnya merasa was-was, dan sering kecemasan-kecemasan ini menjadi pemicu depresi,” katanya.

Yang tak kalah penting dipahami adalah depresi bisa bersifat keturunan. Anak yang dilahirkan dari orangtua dengan riwayat depresi berpotensi juga mengalami depresi. Ini berkaitan dengan keseimbangan kimiawi di otak.

“Selain itu, bila orangtuanya depresi anak akan diasuh dengan suasana tidak happy. Orang depresi cenderung berpikir negatif. Bayangkan jika ibunya depresi, anaknya tentu sangat tidak nyaman,” terang psikiater dari RSUD dr. Soetomo, Surabaya ini.  

Perlu dipahami trauma psikis atau depresi yang berkepanjangan tidak hanya berdampak pada psikologis, tetapi juga fisik dan sosial seseorang. Bila mereka tidak mendapat pengobatan yang adekuat berisiko untuk terlibat / kecanduan narkoba dan alkohol, mempengaruhi penilaian pada dirinya dan orang disekitarnya, akhirnya mempengaruhi hubungan dengan orang-orang di sekitarnya.

“Secara fisik penderita depresi menjadi tidak mempu mengerjakan aktivitas sehari-hari, berisiko menyebabkan penyakit kronis. Kemudian menjadi beban sosial, menarik diri, sampai muncul ide-ide dan upaya bunuh diri,” terang dr. Margarita.

Terapi depresi

Tujuan terapi depresi adalah agar penderita dapat berfungsi normal lagi. Membuatnya kembali bisa berinteraksi sosial, melakukan aktivitas harian dengan normal, dan memiliki gairah untuk memiliki prestasi (memiliki rasa pencapaian) tertentu.

Pengobatan depresi bisa berupa psikoterapi (non-obat), atau menggunakan obat antidepresan. Bisa juga kombinasi keduanya. Dukungan keluarga penting.  

Depresi ringan kadang tetap membutuhkan obat agar penderita dapat berfungsi dengan normal, misalnya saat di sekolah. Obat antidepresan bekerja lebih cepat memperbaiki / menstabilkan kimiawi otak, dibandingkan psikoterapi.

“Terapi obat akan dievaluasi oleh dokter, selalu ada kemungkinan bisa lepas obat,” tambah dr. Margarita. “Tetapi kalau sudah beberapa kali mengalami episode depresi, ada faktor keluarga, pemicunya banyak, dan tidak diberikan terapi psikologis untuk trauma psikisnya, susah untuk lepas obat.” (jie)

Baca juga : Depresi Berisiko Susutkan Volume Otak