Depresi Berisiko Susutkan Volume Otak | OTC Digest

Depresi Berisiko Susutkan Volume Otak

Depresi tidak bisa dianggap remeh. Tidak sebatas gangguan mood, penelitian menunjukkan depresi berulang, atau yang tidak diobati dengan benar mampu merusak otak. Terjadi penyusutan volume area hippocampus.

Hippocampus merupakan area di otak yang berfungsi sebagai pusat memori. Bagian ini berperan penting dalam pembentukan memori baru dengan mengolah kenangan untuk disimpan jangka panjang.

Dr. Margarita Maramis, SpKJ (K), Ketua Divisi Mood Disorder Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), menjelaskan penting untuk mengatasi trauma (psikis) sedini mungkin.

“Trauma mampu mengecilkan area hippocampus. Terjadi perubahan kimiawi otak yang tinggi, menyebabkan perubahan sel-sel, terutama di hippocampus,” jelasnya di sela-sela acara Lundbeck Regional Symposium, di Shangri-La Hotel, Jakarta (22/6/2019).

Depresi menyebabkan meningkatnya produksi hormone stres (kortisol) yang bersifat racun bagi hippocampus. Penyusutan volume hippocampus, selain berkaitan dengan memori, juga mengganggu fungsi otak lainnya. Berpengaruh pula pada hilangnya fungsi emosi dan perilaku penderita, misalnya menjadi gampang marah dan mudah mengalami kecemasan.

Pada studi yang dilakukan oleh Chan SW, Hamer CJ, dkk., dipaparkan depresi menyebabkan penyusutan hippocampus. Ini terjadi pada subyek remaja atau dewasa, baik yang baru terdiagnosis depresi atau mengalami depresi berulang. Riset tersebut dipublikasikan dalam Journal of Affective Disorder 2016.

Lebih jauh dalam penelitian CNS & Neurological Disorders - Drug Targets terlihat ada hubungan antara penyusutan hippocampus dengan meningkatkan reaksi apoptosis (program kematian sel secara alamiah; bagian dari proses regenerasi sel) sel otak. Bukti menunjukkan terjadi peningkatan apoptosis sel di hippocampus dan gangguan memori pada tikus menyusui setelah dipisahkan dengan anak-anaknya – perubahan perilaku seperti pada kondisi depresi.

Hippocampus juga terhubung dengan banyak area otak, seperti amigdala yang mengontrol respons terhadap rasa takut. Pada mereka yang mengalami depresi berulang, area amigdala terlihat lebih besar dan hiperaktif. 

Intensitas dan berat/ringannya trauma menyebabkan besar atau kecilnya penyusutan hippocampus. Pada kasus perundungan (bullying), dr. Margarita mencontohkan, seseorang dapat merespon dengan sikap acuh, sementara orang lain mungkin merasa sangat tersakiti atau frustasi.

“Tetapi jika terapi dilakukan sedini mungkin mampu mencegah penyusutan volume hippocampus, atau mengembalikan seperti normal selama penyusutan tersebut masih baru,” terang psikiater dari RSUD Dr Soetomo, Surabaya ini.

Gejala depresi

Depresi selama ini diidentikkan dengan gangguan jiwa yang menyebabkan bunuh diri. Faktanya, bunuh diri adalah ujung dari depresi yang tidak dikenali atau ditangani dengan benar.

Dalam prosesnya, penderita depresi  mengalami penurunan fungsi mental, menyebabkan penderita tidak bisa bekerja dengan optimal, atau tidak mampu berkontribusi dalam lingkungannya. Dari sana lah pentingnya mendeteksi gejala gangguan kejiwaan ini.

Dalam kesempatan yang sama, Prof. Vladimir Maletic, MD, ahli neuropsikiatri klinis di University of South Carolina, Amerika Serikat, menjelaskan bahwa selama ini depresi dipahami sebagai penyakit tunggal.

“Faktanya depresi merupakan sebuah sindroma atau kumpulan dari beberapa gangguan. Bukti genetik, hasil pencitraan dan bukti neurobiologis menyatakan bahwa major depressive disorder (depresi mayor) mempengaruhi emosi, fisik dan kognitif,” terangnya.

Gejala depresi pada emosi ditunjukkan dengan perasaan sedih, gelisah, gampang marah (irritability), merasa bersalah, putus asa, murung dan memiliki ide untuk bunuh diri.

Gejala pada fisik berupa kelelahan, perubahan berat badan (bisa kurus atau gemuk), insomnia/hipersomnia, disfungsi seksual, sakit kepala, gangguan pencernaan, atau mengalami agitasi psikomotorik (melakukan gerakan-gerakan yang tidak perlu; biasaanya saat gelisah).

Sementara pada fungsi kognitif mempengaruhi kemampuan ingatan jangka panjang/pendek dan daya konsentrasi. Berpengaruh pula dalam pengambilan keputusan dan penilailan yang buruk, serta penurunan kecepatan berpikir.

Sebagai catatan, Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) 2018 menyatakan jumlah penyandang depresi dewasa di Indonesia adalah 6,1%, atau sekitar 15,6 juta jiwa dari total penduduk (261 juta jiwa). Data juga menunjukkan sekitar 83-91% penderita depresi tidak mencari perawatan dan/atau tidak mendapat terapi yang benar.

“Ingat, depresi bisa diterapi,” pungkas dr. Margarita. (jie)