Di pasaran, kita biasa mendengar bermacam istilah susu: susu segar, susu pasteurisasi, susu steril, susu UHT, hingga susu bubuk. Jangan dulu pusing. Dalam acara Mengenali Varian Susu untuk Tumbuh Kembang Anak yang diselenggarakan Forum Ngobras di Jakarta (14/08/2017) dipaparkan perbedaan dari tiap varian susu.
Ada orangtua yang beranggapan bahwa susu segar adalah yang terbaik karena alami, tanpa melalui proses apapun. Di satu sisi, ini memang benar; semua zat gizi dalam susu masih utuh dan tidak rusak. Namun di sisi lain, susu tidak mengalami proses sterilisasi. Bila hewan penghasil susu itu sakit atau mengalami mastitis (radang pada ambing), maka berpotensi menyebarkan penyakit.
“Susu sapi segar juga lebih berisiko menyebabkan darah pada tinja (feses). Meski tidak selalu kelihatan darah di feses, tapi terjadi microbleeding. Kalau diperiksa di lab, ada sel-sel darah merah pada feses bayi,” tutur Dr. dr. Ariana Dewi Widodo, Sp.A(K) dari RSAB Harapan Kita, Jakarta. Ini karena protein pada susu sapi cukup besar sehingga sulit dicerna oleh bayi. Susu segar sama sekali tidak diproses; kandungan dan komposisi proteinnya masih asli. Sedangkan susu formula sudah diproses sesuai kondisi dan kebutuhan bayi.
Microbleeding bisa menyebabkan bayi anemia. Apalagi, kandungan zat besi sebagai pembentuk sel darah, sangat rendah pada susu. Kandungan folat yang penting untuk pembentukan DNA pun rendah. “Susu segar tidak memenuhi kebutuhan asupan harian nutrisi bayi,” terang dr. Ariana.
Hal serupa disampaikan oleh DR. Ir. Dede R. Adawiyah, dosen Teknologi Pangan dari Institut Pertanian Bogor. “Kalau kondisi sapi baik, sebetulnya susu bisa dikonsumsi langsung,” ujarnya. Namun sangat jarang susu segar bisa benar-benar steril. Setelah diperah, susu tidak disaring; bisa jadi ada kotorannnya.
“Mungkin juga tangan yang memerah tidak bersih, dan mungkin masih ada mikroorganisme yang membahayakan. Jadi sebaiknya tidak mengonsumsi susu sapi mentah secara langsung,” tambahnya. DCD (Central for Disease Control) di Amerika Serikat menyebutkan, susu mentah yang tidak ditangani dengan baik merupakan salah satu penyebab utama keracunan makanan, menjadikannya sebagai salah satu bahan makanan yang paling berbahaya.
Karena tinggi kandungan cairan, susu segar sangat mudah rusak akibat kontaminasi bakteri atau jamur. Proses pengolahan adalah upaya untuk memperpanjang usia susu sehingga bisa awet dan disimpan lebih lama. Misalnya dengan pasteurisasi, sterilisasi dan UHT.
Pasterusisasi menggunakan metode pemanasan dalam suhu rendah, dengan waktu yang lama. Susu dipanaskan pada suhu 60 – 70oC selama sekitar 20 – 30 menit. Ini membuat sebagian bakteri mati. “Bakteri patogen yang ditargetkan mati, tapi bakteri pembusuk masih ada. Untuk itu harus ditambah dengan usaha pengawetan, yakni dengan pendinginan,” terang Dede. Karenanya susu pasteurisasi harus disimpan dalam lemari pendingin; ini cara mudah mengenali susu pasterusisasi saat belanja ke pasar swalayan. Dan begitu kemasan dibuka, harus langsung dihabiskan.
Adapun susu steril, biasanya dikemas dalam kemasan kaleng. “Karena prosesnya, susu dimasukkan ke kaleng, lau dipanaskan bersama kalengnya pada suhu 100 derajat selama sekitar 30 detik. Diharapkan semua bakteri mati,” ujar Dede.
Lantas, bagaimana dengan UHT? UHT (ultra-high temperature) adalah susu yang dipanaskan dalam suhu sangat tinggi (135oC) dengan waktu sangat singkat (2 – 4 detik). Di tempat terpisah, kemasan disterilkan. Selanjutnya di ruang steril susu diisikan ke dalam kemasan. “Dengan suhu demikian tinggi dan waktu pendek, diharapkan bisa mempertahankan semua komponen nutrisi susu,” ucap Dede. Cirri khas UHT, dikemas dalam kemasan karton tetrapack.
Baik susu pasteurisasi maupun susu UHT bisa awet disimpan selama beberapa bulan tanpa lemari pendingin, selama segelnya tertutup rapat. Namun begitu dibuka, maka harus langsung dihabiskan. Susu UHT ukuran besar bisa disimpan di kulkas setelah dibuka, tapi sebaiknya segera dihabiskan dalam beberapa hari.
Ada pula susu bubuk. Ini adalah susu cair yang dikeringkan. “Kadar air pada susu yang tadinya 84%, lalu dihilangkan hingga maksimal 4% saja,” jelas Dede. Awalnya, susu dievaporasi hingga mencapai kekentalan tertentu, lalu disemprotkan ke tabung khusus, di mana juga dialirkan udara panas. Susu akan mengering, dan didapatlah hasil akhir berupa susu bubuk.
Bayi hingga usia 6 bulan sebaiknya hanya mendapat ASI saja tanpa tambahan apapun termasuk air putih atau madu. Inilah yang disebut ASI eksklusif. “Selewat 6 bulan ASI bisa diteruskan sampai usia 2 tahun, tapi dengan makanan tambahan,” ujar dr. Ariana. Susu bisa diberikan sebagai tambahan ASI dan MPASI (makanan pendamping ASI).
Perhatikan pemilihan susu. “Susu pasteurisasi dan susu UHT tidak boleh diberikan pada bayu berusia kurang dari satu tahun,” tegas dr. Ariana. Demikian pula halnya dengan susu segar dan susu steril. Pada bayi selewat usia 6 bulan, hanya boleh diberikan susu formula, karena sudah diformulasikan dan difortifikasi sesuai kebutuhan bayi. Sesuaikan susu dengan usia anak. Misalnya susu untuk 6 bulan ke atas, untuk 1 tahun ke atas, dan seterusnya.
Untuk anak dengan kondisi khusus misalnya alergi, perlu susu tersendiri (baca juga: Susu Hipoalergenik). Ditegaskan oleh dr. Ariana dan Dede, susu hanyalah tambahan. Makanan tetap harus jadi sumber utama. (nid)
Baca juga: Susu untuk Anak dengan Kondisi Khusus