Mereka yang kerap nyeri kepala lebih berisiko mengalami serangan jantung dan stroke, dibanding orang yang tidak kerap mengalami nyeri kepala kronis. Demikian kesimpulan dalam penelitian yang dipublikasikan di jurnal medis Pain Medicine, Mei 2020 lalu.
Dari tahun 2001 hingga 2005, peneliti di Taiwan mengidentifikasi 17.614 orang yang menggunakan obat pereda nyeri, minimal selama tiga bulan berturut-turut. Selain karena nyeri kepala, penyebab nyeri kronis lain adalah kelainan tulang belakang dan radang sendi.
Obat pereda nyeri yang diminum selain termasuk paracetamol, ibuprofen atau asam mefenamat, juga golongan opioid (codeine).
Sebagai kelompok pembanding, peneliti menggunakan 35.228 orang tanpa nyeri kronis; mereka sudah disesuaikan dengan usia dan jenis kelamin dengan kelompok pertama.
Selama proses pengamatan (follow-up) yang berlangsung hingga 2015, mereka dengan nyeri kepala atau nyeri kronis lainnya berisiko 20% lebih tinggi untuk mengalami serangan jantung dan 30% menderita stroke, daripada kelompok tanpa nyeri kronis.
Peneliti sudah menyesuaikan hasil tersebut dengan diabetes dan faktor risiko lain yang bisa meningkatkan risiko seseorang mengalami penyakit jantung. Nyeri kepala dan nyeri kronis lainya tetap meningkatkan risiko serangan jantung atau stroke.
Bagaimana hal itu bisa terjadi? Dilansir dari Health Harvard, peneliti menjelaskan, nyeri kronis – baik berupa nyeri kepala atau nyeri lainnya – akan memicu berbagai hal yang berhubungan dengan perburukan kesehatan jantung, termasuk stres, berkurangnya kemampuan untuk olahraga, kualitas tidur yang buruk, dan depresi.
150 jenis nyeri kepala
Nyeri kepala merupakan keluhan yang paling sering dirasakan. Setiap orang pasti sudah pernah mengalaminya. Bisa hanya karena masalah sepele, seperti akibat penurunan glukosa darah, atau merupakan gejala penyakit serius.
Setidaknya ada 150 jenis nyeri kepala yang sudah teridentifikasi.
Nyeri kepala tegang adalah jenis yang paling umum; menyebabkan nyeri ringan sampai sedang, datang dan pergi seiring waktu.
Migrain merupakan bentuk nyeri kepala lain yang bisa ‘melumpuhkan’ penderitanya. Digambarkan sebagai nyeri yang berdenyut-denyut, bisa berlangsung dalam hitungan jam bahkan hari (4 jam - 3 hari). Kerap disertai gejala lain seperti sensitif pada cahaya, suara dan bau, mual/muntah dan kehilangan nafsu makan.
Seseorang juga bisa mengalami sakit kepala karena perubahan kadar hormon selama menstruasi, kehamilan dan menopause. Perubahan hormon karena penggunaan pil KB atau terapi sulih hormon juga bisa memicu sakit kepala. Jika terjadi 2 hari sebelum menstruasi, atau dalam 3 hari pertama setelah menstruasi, disebut migrain menstruasi.
Sakit kepala klaster adalah jenis yang lebih berat. Penderita merasakan rasa terbakar / tertusuk yang intens di belakang atau sekitar satu mata. Rasa nyerinya bisa sangat buruk sehingga kebanyakan penderitanya tidak bisa duduk diam dan sering mondar-mandir selama serangan.
Disebut sakit kepala klaster karena cenderung terjadi dalam kelompok. Seseorang mungkin mendapatkannya 1-3 tiga kali sehari selama periode klaster, yang dapat berlangsung 2 minggu hingga 3 bulan. Setiap serangan sakit kepala berlangsung 15 menit sampai 3 jam.
Sakit kepala karena sinus adalah jenis lainnya lagi. Penderita mengalami nyeri yang dalam dan terus-menerus di tulang pipi, dahi atau pangkal hidung. Ini terjadi karena radang/infeksi di sinus. Nyeri biasanya datang bersamaan dengan gejala sinus lainnya, seperti pilek, telinga terasa penuh, demam, dan wajah bengkak. (jie)
Baca juga : Kenali Nyeri Kepala Tanda Aneurisma, Penyebab Stroke Usia Muda