Merasa lelah, mudah tersinggung dan sedih sepanjang waktu adalah tanda-tanda kelelahan ekstrim. Kondisi ini tidak baik untuk kesehatan mental dan fisik Anda.
Penelitian terbaru menyatakan kelelahan juga berisiko memicu gangguan jantung, yakni gangguan irama jantung alias aritmia.
Fibrilasi atrium (FA) adalah salah satu jenis aritmia yang paling banyak diderita, tercatat mengenai lebih dari 2,7 juta orang Amerika. Kejadian AF meningkat seiring bertambahnya usia.
Pada mereka yang berusia 40-60 tahun, kasus fibrilasi atrium sekitar 0,2% dari total populasi, sedangkan >80 tahun mencapai 15-40%. Untuk Indonesia, data RS Jantung Harapan Kita, Jakarta, menunjukkan peningkatan dari 7,1% (2010), menjadi 9% (2011), 9,3% (2012) dan 9,8% (2013).
Gangguan irama jantung, khususnya FA, menyebabkan gejala seperti nyeri dada, palpilasi jantung, pusing, napas pendek dan kelelahan. Aritmia jenis itu juga meningkatkan risiko serangan stroke, walaupun tanpa didahului gejala.
Dalam penelitian terbaru yang dipublikasikan 13 Januari 2020 di European Journal of Preventive Cardiology, peneliti menemukan hubungan antara kelelahan parah –disebut juga kelelahan vital- dan risiko FA.
Penelitian tersebut menunjukkan bahwa “Kelelahan dan kemampuan coping yang buruk, bersama dengan gejala depresi, bisa berkontribusi pada fibrilasi atrium,” kata Dr. David Friedman, direktur Heart Failure Service di Northwell Health’s Long Island Jewish Valley Stream, AS.
Stres, kelelahan dan kesehatan jantung
WHO menghubungkan kelelahan dengan ‘stres kronis di tempat kerja yang tidak tertangani baik’. Muncul dalam bentuk sikap sinis terhadap pekerjaan, merasa kurang efektif saat bekerja dan lelah.
Pada jejak pendapat baru-baru ini ditemukan bahwa dua pertiga pekerja penuh waktu (full-time) mengalami kelelahan pada pekerjaannya, dengan hampir seperempatnya sangat sering, bahkan selalu merasa kelelahan.
Penulis utama penelitian itu, Dr. Parveen Gard, profesor kesehatan klinis di University of Southern California’s Keck School of Medicine, AS, mengatakan kelelahan bisa disebabkan oleh banyak hal, termasuk stres personal, atau masalah keluarga.
Riset sebelumnya telah menyatakan bila kemarahan, cemas dan depresi berhubungan dengan penyakit pembuluh darah koroner dan gagal jantung kongestif. Tetapi dampaknya pada aritmia – khususnya fibrilasi atrium – belum ditetapkan.
Riset-riset sebelumnya memberikan hasil yang campur aduk. Di salah satu studi pada veteran dengan gangguan stres pascatrauma (PTSD) mendapati ada peningkatan risiko FA. Sementara penelitian lain menyatakan fibrilasi atrium bisa menyebabkan depresi dan kecemasan, tetapi depresi dan kecemasan juga menciptakan kondisi yang menyebabkan kondisi jantung memburuk.
Dr. Matthew Budoff, ahli jantung dari UCLA David Geffen School of Medicine in Torrance, California mengatakan, "Ketika pasien stres, tingkat adrenalin mereka naik dan itu dapat mendorong seseorang ke fibrilasi atrium.”
Mengatur stres
Adanya penelitian yang menyatakan dampak kelelahan pada risiko gangguan irama jantung, menjadikan mengelola stres menjadi hal penting.
“Orang perlu mencari cara untuk mengurangi stres ketika mereka merasa kelelahan,” kata Budoff, “Baik itu dengan olahraga, mencoba hal-hal baru, atau dengan mengubah lingkungan mereka.”
Riset sudah menunjukkan bila kesehatan mental bisa berdampak negatif pada kesehatan fisik, demikian pula sebaliknya.
Intervensi psikologi, seperti meningkatkan rasa terima kasih dan pengampunan, mengarah pada peningkatan kesehatan kardiovaskular secara keseluruhan. (jie)