Hubungan Hepatitis B dengan Gangguan Ginjal | OTC Digest

Hubungan Hepatitis C dengan Gangguan Ginjal

“Hepatitis C bisa menyebabkan komplikasi ke ginjal, dan sebaliknya. Banyak pasien cuci darah yang kena hepatitis C,” ungkap dr. Irsan Hasan Sp.PD-KGEH, Ketua Peneliti Hati Indonesia (PPHI) dalam diskusi Infeksi Hepatitis C dan Penanganan Komplikasinya yang diselenggarakan Forum Ngobras di Jakarta (16/08/2017). Selain menyebabkan sirosis (pengerutan dan pengerasan hati) dan kanker hati, hepatitis C juga bisa menimbulkan komplikasi lain yang ekstrahepati atau di luar hati. Misalnya ke sendi, pembuluh darah dan ginjal.

Komplikasi ekstrahepatik bisa terjadi karena system imun berusaha membunuh virus hepatitis C, tapi “nyasar” ke mana-mana hingga malah merusak organ tubuh lain. Komplikasi hepatitis C pada ginjal, bisa timbul glomerulonefritis atau peradangan pada sel-sel ginjal. “Namun, ini tidak serta merta menjadi gagal ginjal kronis yang harus cuci darah. jauh lebih banyak yang hemodialisis lalu kena hepatitis C,” terang dr. Irsan.

Prevalensi (angka kejadian) hepatitis C di unit HD di dunia sangat bervariasi, antara 3 – 68%. Di RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta, pada 1997 mencapai 72%, lalu turun jadi 38% pada 2011. Di RS Sardjito, Yogyakarta, angkanya 55%, dan di Surabaya didapatkan angka 76% dan 88%.

Berdasarkan hasil surveilans Ditjend P2PL 2007 – 2012, proporsi factor risiko untuk hepatitis C positif dirajai oleh penggunaan narkoba suntik (27,52%). Cuci darah menempati urutan kedua, dengan proporsi 15,16%. Namun, ini masih data lama. Berdasarkan data terakhir, penasun (pengguna narkoba suntik) mulai turun. “Yang jadi masalah, hemodialisis. Pengamatan saya saat ke rumah sakit, dalam satu tahun hemodialisis, 450 orang menderita hepatitis B dan C,” tutur dr. Wiendra Woworuntu M.Kes, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung, Ditjen P2PL Kemenkes RI.

Ada banyak kemungkinan mengapa ini bisa terjadi. Berdasarkan prosedur operasi standar (POS) alat yang digunakan harus steril. Misalnya jarum, hanya digunakan sekali pakai lalu dibuang, ganti dengan yang baru untuk pasien berikutnya.

Menurut dr. Irsan, petugas medis sudah melakukan sesuai dengan POS. Dulu, alat filter untuk HD dibersihkan, lalu dipakai ulang untuk pasien yang sama (reuse dialyzer). Hal ini pun dilakukan di banyak negara lain. “Namun dipertanyakan apakah hal ini aman, sehingga tidak dilakukan lagi,” ujarnya. Tapi memang dilihat, angka hepatitis C dari unit HD di RSCM turun cukup banyak.

Namun tetap saja, msih cukup banyak penularan hepatitis C pada pasien HD. Ada dugaan akibat transfusi darah. Pasien gagal ginjal kronik biasanya kadar Hb rendah hingga anemia, sehingga perlu transfusi. “Namun ada juga pasien yang tidak pernah transfusi dan filter dialisernya sekali pakai, kena juga hepatitis C,” sambungnya.

Ada beberapa hal yang dicurigai, misalnya penggunaan heparin, obat pengencer darah yang disuntikkan. Satu vial heparin dipakai untuk beberapa orang. Bisa jadi, tanpa sengaja hal ini menularkan hepatitis C. Atau, mungkin saja dari sarung tangan perawat. “Untuk perawat aman. Tapi bisa jadi habis menangani seorang pasien dengan berdarah, lalu menangani pasien lain yang juga berdarah,” tutur dr. Irsan.

 

Pengobatan hepatitis C pada pasien ginjal

Pada masa interferon, pengobatan hepatitis C pada pasien gagal ginjal yang sudah cuci darah, bisa dibilang seperti buah simalakama. Meski interferon gratis karena sudah ditanggung BPJS, umumnya dokter tidak suka memberikan obat ini ke pasien gagal ginjal, karena efek sampingnya berat. Akhirnya dibuat protocol, pasien gagal ginjal yang akan menjalani transplantasi (cangkok) ginjal, harus diterapi interferon dulu. Namun, ini bukan perkara mudah. “Pernah ada kejadian, pasien yang akan cangkok ginjal dikirim ke saya untuk terapi interferon. Kondisi hatinya sudah tidak terlalu bagus. Diobati dengan interferon, kondisinya menurun. Akhirnya dia meninggal karena komplikasi pengobatan ini,” papar dr. Irsan.

Kemudian dibuat aturan baru. Pasien yang akan cangkok ginjal tapi memiliki virus hepatitis C, dilihat dulu seberapa berat kondisi hatinya. Kalau masih baik meski ada virus, maka ia menjalani cangkok tanpa terapi interferon. Namun bila kondisi hatinya sudah jelek, cangkok ginjal dibatalkan. “Karena aturannya, dicangkok ginjal dan hatinya,” jelas dr. Irsan. Namun cangkok hati nsagat mahal (sekitar Rp 4 miliar); berapa banyak yang sanggup membayar cangkok hati dan ginjal sekaligus.

Sangat berksyukur, pengoabtan hepatitis C masuk ke era DAA (direct-acting antivirus), dengan ditemukannya obat yang bisa membunuh virus hepatitis C dengan angka keberhasilan >95%, seperti sofosbuvir. “Namun ada catatan. Sofosbuvir tidak dianjurkan pada pasien yang filtrasi ginjalnya kurang dari 30,” imbuhnya. Dengan kata lain, obat ini tidak bisa diberikan untuk orang yang fungsi ginjalnya jelek, karena obat ini dibuang melalui ginjal.

Saat ini masih pro dan kontra mengenai pemberian sofosbuvir pada pasien cuci darah. pendapat yang pro beranggapan, fungsi ginjal dalam menyaring darah sudah digantikan dengan mesin, sehingga tidak masalah bila diberikan sofosbuvir. “Ada obat yang pembuangannya tidak melalui ginjal, tapi belum beredar di Indonesia,” ujar dr. Irsan. Konsensus mengenai pengobatan pasien hepatitis C dan gagal ginjal dengan sofosbuvir masih dibahas. Kita tunggu, apakah akhirnya obat ini dianggap aman, ataukah perlu obat lain yang memang aman untuk ginjal. (nid)