Hipogonadisme, Ancaman Penurunan Testosteron pada Pria | OTC Digest

Hipogonadisme, Ancaman Penurunan Testosteron pada Pria

Penurunan hormon testosteron mengancam pria. Biasanya terjadi pada mereka yang berusia di atas 40 tahun, namun bisa dialami oleh mereka yang lebih muda. Perhatikan gejalanya.

Dalam istilah medis, kondisi tersebut disebut hipogonadisme. Disebabkan produksi testesteron di testis tak cukup (95% testosteron dihasilkan di testis, 5% di anak ginjal). Banyak pemicu munculnya hipogonadisme, terbanyak karena proses penuaan (aging). Secara alamiah saat seseorang berusia 30 plus proses degenerasi mulai menunjukkan bentuknya, yang paling kentara ada pada kulit muncul keriput. 

Turunnya hormon testosteron utamanya terjadi di usia 40 tahunan. Hormon pria ini pada masa anak-anak sampai pubertas digunakan untuk pembentukan organ seksual. Di masa dewasa diperlukan untuk meningkatkan massa otot, menjaga kesehatan jantung dan tulang, serta membuat pikiran tetap tajam. Untuk urusan seksual, kadar testosteron yang optimal membuat libido terjaga dan kekerasan penis saat ereksi maksimal (sekeras mentimun). 

Sebaliknya saat ada penurunan testosteron, “Terjadi disfungsi ereksi, baik berupa turunnya gairah seksual, misalnya aktivitas seks dari 3 x seminggu menjadi sekali seminggu. Penis tidak sekeras biasanya walau tetap bisa penetrasi ke organ intim istri. Dan, mengalami ejakulasi dini,“ ujar dr. Nugroho Setiawan, MS, Sp.And dari RS. Fatmawati, Jakarta. 

Dampak lain berupa kelelahan, tidak bersemangat kerja, risiko alzheimer, osteoporosis dan depresi meningkat. Baltimore Longitudinal Study of Aging menyatakan 38,7% pria berusia 40-79 tahun mengalami sindrom defisiensi testosteron (TDS). Yakni memiliki kadar testosteron kurang dari normal (300 ng/mL).

Kejadian hipogonadisme dapat terjadi lebih cepat (< usia 40 taun) karena pengaruh gaya hidup, seperti obesitas dan stres. Sel lemak di perut akan merubah testosteron menjadi estrogen, akibatnya jumlah testosteron menurun.

“Pria yang obesitas, terutama obesitas sentral (lingkar perut > 90 cm), hampir pasti mengalami hipogonadisme,” tegas dr. Nugroho dalam diskusi media SMILe (Seputar Masalah Intim Lelaki), April (6/4/2017).

Sindroma metabolik, seperti diabetes tipe 2, hipertensi dan hiperlipidemia (kolesterol tinggi) juga menyebabkan berkurangnya testosteron. Riset menyatakan, 42% pria dengan diabetes tipe 2 mengalami gejala TDS. TDS juga berhubungan dengan peningkatan kematian akibat penyakit kardiovaskular (serangan jantung dan stroke).

Pencegahan dan pengobatan TDS dilakukan lewat 2 cara; perubahan gaya hidup dan terapi sulih hormon. Perubahan gaya hidup meliputi olahraga teratur, konsumsi makanan sehat dan seimbang, turunkan berat badan, serta kelola stres.

Terapi sulih hormon diberikan berupa injeksi, tablet atau gel berisi testosteron sintetis. TDS yang berlangsung lama merubah fisiologi tubuh, sehingga walau kadar testosteron telah normal, setidaknya membutuhkan waktu 6-8 bulan untuk mengembalikan fungsi tubuh seperti seharusnya. (jie)