Penyakit ginjal kronis (PGK) dan gagal ginjal masih menjadi momok di masyarakat kita. Tak hanya memakan biaya pengobatan yang tinggi, kualitas hidup penderita biasanya sangat menurun. Hipertensi ditengarai sebagai penyebab utama penyakit ginjal kronis dan gagal ginjal.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menyatakan penderita penyakit ginjal kronis di Indonesia tergolong tinggi, yakni 3,8%; naik 1,8% dari data Riskesdas 2013. Beban negara akibat PGK pun amat besar.
Gagal ginjal menjadi penyakit katastropik terbesar kedua –setelah sakit jantung – yang menurut BPJS menyedot pembiayaan terbanyak. BPJS di tahun2017 menanggung biaya dialisis (cuci darah) hingga Rp. 3,1 triliun.
Dijelaskan oleh dr. Aida Lydia, PhD, SpPD-KGH, Ketua Umum Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI), bahwa penyakit ginjal kronis (penurunan fungsi ginjal berlangsung lebih dari 3 bulan) sebagian besar disebabkan oleh hipertensi (36%), dan diabetes (29%).
“Sangat penting untuk bisa mencapai target tekanan darah. Penurunan tekanan darah 10mmHg berarti berkurang risiko gagal ginjal sampai 5%,” terang dr. Aida. “Juga berarti berkurang risiko gagal jantung 28%, stroke 27% dan kematian hingga 13%.”
Tensi darah normal jika tekanan darah tekanan darah diastolik (saat jantung istirahat) antara 80-84 mmHg dan tekanan darah sistolik (saat jantung memompa darah) 120-129 mmHg; biasa ditulis 80/120 mmHg. Berdasarkan panduan European Society of Cardiology 2018, dianggap hipertensi jika diastolik > 90 mmHg dan sistolik > 140 mmHg.
Salah satu fungsi ginjal adalah sebagai pembersih darah. Setiap saat sekitar 100-125 ml/menit darah masuk ke ginjal untuk dibersihkan. Caranya dengan mengeluarkan sisa metabolisme tubuh, seperti ureum dan kreatinin, untuk dibuang melalui urin.
Penyaringan darah, jelas dr. Aida, terjadi di dalam pembuluh darah ginjal yang disebut nefron. Satu buah ginjal mengandung 1 juta nefron; manusia memiliki 2 ginjal. Hipertensi menyebabkan kerusakan nefron, kemudian terjadi penurunan kemampuan penyaringan (laju filtrasi glomerulus). Akhirnya menjadi gangguan fungsi ginjal.
Parameter fungsi ginjal – diketahui melalui pemeriksaan di lab – dilihat dari adanya albumin / protein di urin, peningkatan kreatinin dalam darah, kelainan pemeriksaan hispatologi (jaringan tubuh), kerusakan struktur (dari pencitraan), riwayat transplantasi ginjal, dan penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) < 60 ml/min/1,73 m².
“Ada satu saja nilai yang tidak normal dari parameter tersebut, kita wajib waspada pada gangguan fungsi ginjal,” ujar dr. Aida dalam peringatan Hari Ginjal Sedunia, pada 13 Maret 2019 lalu.
Tidak menimbulkan gejala
Sebagian besar penderita tidak mengeluhkan gejala apapun sampai penyakit ginjal kronik stadium lanjut; gejala belum muncul hingga fungsi ginjal berkurang sampai 90%.
Disebut PGK stadium 1 jika LFG > 90 ml/min/1,73 m². Stadium 2 ditandai dengan LFG antara 60-89. Stadium 3a nilai LFG 45-59, stadium 3b dengan LFG 30-44. Stadium 4 (stadium lanjut) jika LFG 15-29. Pada stadium 1-4 terapi dimaksudkan untuk memperlambat progresi penurunan fungsi ginjal.
Dianggap mengalami gagal ginjal yang membutuhkan terapi pengganti ginjal (dialisis/cuci darah dan transplantasi) jika masuk stadium 5 (tahap akhir) dengan LFG <15 ml/min/1,73 m².
Pencegahan
Pencegahan penyakit ginjal kronis dan gagal ginjal adalah dengan mengenali faktor risiko dan melakukan pemeriksaan fungsi ginjal.
Mereka yang tergolong berisiko mengalami penurunan fungsi ginjal adalah yang berusia > 45 tahun, terutama dengan riwayat keluarga menderita hipertensi, diabetes, stroke dan penyakit jantung. Atau mereka dengan riwayat gangguan ginjal lain seperti batu ginjal, radang ginjal (glomerulonephritis), dll.
Sangat disarankan untuk menjaga tekanan darah dengan olahraga teratur minimal 30 menit sehari, 3-4 kali seminggu, perbanyak konsumsi sayur dan buah, kurangi konsumsi garam, cukup minum (2 liter / 8 gelas sehari).
Sementara pada mereka yang sudah menderita hipertensi, “Minum obat terartur sesuai anjuran. Kadang pasien berhenti minum obat karena sudah merasa sehat dan takut minum obat dalam jangka panjang akan merusak ginjal.
“Padahal yang merusak ginjal bukan obat hipertensi (yang dikonsumsi jangka panjang), tetapi tekanan darah yang tidak terkontrol,” tegas dr. Aida. (jie)