Perbaikan Gizi untuk Mengatasi Stunting Masih Bermanfaat Selewat Usia 2 Tahun | OTC Digest
perbaikan_gizi_anak_stunting

Perbaikan Gizi untuk Mengatasi Stunting Masih Bermanfaat Selewat Usia 2 Tahun

Debat cawapres sudah berlangsung 17 Maret lalu, tapi isu stunting yang kala itu diangkat dalam debat, selalu menarik untuk dibicarakan. Pengentasan stunting telah menjadi salah satu program kerja dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, angka stunting berhasil diturunkan menjadi 30,8%, dari sebelumnya 37,2% (Riskesdas 2013).

Bagaimanapun, persoalan stunting dalam debat cawapres menggelitik kegelisahan Ir. Ahmad Syafiq, Msc, PhD. Menurut Ketua Pusat Kajian Gizi dan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia ini, ada beberapa pemahaman yang perlu ditegaskan terkait stunting, yang disampaikan oleh Prof. Dr. K. H. Ma’ruf Amin maupun Sandiaga Uno.

Dalam debat, Sandiaga menjelaskan soal program sedekah putih, yakni sumbangan susu untuk ibu dan anak-anak, yang menjadi salah satu visi-misi paslon 02 dalam mengatasi stunting. Ini ditanggapi oleh K.H. Ma’ruf Amin, bahwa pemberian susu setelah usia 2 tahun tidak berkontribusi dalam pencegahan stunting.

Mencegah dan mengatasi stunting memang idealnya dilakukan sejak awal kehamilan hingga anak berusia 2 tahun, yang dikenal sebagai 1.000 Hari Pertama Kehidupan (1.000 HPK). Namun, pemberian susu dan protein lain setelah anak berusia 2 tahun bukan berarti tidak bermanfaat. “Intervensi gizi untuk mengatasi stunting masih bisa dilakukan setelah usia dua tahun, meski tidak seoptimal bila dilakukan dalam 1000 HPK,” tutur Syafiq kepada beberapa wartawan di Jakarta, Kamis (21/03/2019).

Penelitian yang dipublikasi di The Lancet (2017) menyebut, intervensi gizi bahkan harusnya diperpanjang hingga 8.000 HPK atau hingga seseorang berusia 20 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa intervensi gizi setelah usia 2 tahun masih bermanfaat. “Selagi anak masih tumbuh, masih bisa diintervensi. Bukan hanya tinggi badan, tapi juga fungsi kognitifnya. Jendela intervensi tak terbatas pada usia dua tahun,” imbuhnya.

Stunting memang jadi masalah bila orangtu terlambat mengenali. Selain perawakan anak jadi pendek, pertumbuhan sel-sle otaknya pun tidak optimal karena kekurangan nutrisi terutama protein; perkembangan motorik dan sensoriknya pun terhambat. Belum lagi risiko penyakit degenratif saat anak dewasa nanti.

Inilah pentingnya membawa anak ke dokter atau Posyandu secara rutin sebulan sekali, untuk memantau tumbuh kembang anak. Namun jangan patah semangat; kalaupun stunting terlambat ditemukan, kemampuan kognitif anak masih bisa dikejar hingga usia remaja. Meski tentu, hasilnya tak sebagus bila diintervensi di usia dini. Selain nutrisi, stimulasi juga harus diperhatikan.

Syafiq memaparkan sebuah studi yang menarik. Anak-anak dikelompokkan dalam tiap golongan usia: 0-2 tahun, 4-6 tahun, dan 7-9 tahun. Ternyata, anak bisa mengalami stunting di tiap kelompok usia ini. “Anak yang di usia 0-2 tahun tidak stunting, belum tentu setelah itu tidak stunting,” ujar Syafiq. Bila selewat usia 2 tahun asupan gizi anak diabaikan karena dirasa sudah ‘aman’, bisa saja anak mengalami stunting di tahapan usia berikutnya.

Sebaliknya anak yang awalnya stutning kemudian mendapat intervensi nutrisi, masih bisa mengejar ketertinggalan. “Anak yang di usia 0-2 tahun pendek bisa menjadi normal karena mendapat intervensi gizi. Namun anak yang pendek dan tetap pendek di usia 4-6 tahun karena tidak diintervensi, peluangnya menjadi normal saat masuk sekolah itu kecil sekali,” papar Syafiq.

 

Intervensi gizi untuk ibu

K.H. Ma’ruf Amin mengemukakan soal program sembako dari paslon 01 untuk menghindari stunting sejak dini. “Ini bagus sekali. Namun tidak cukup hanya pada ibu hamil. Harus dilanjutkan sampai ibu selesai memberi ASI eksklusif selama enam bulan,” ucap Syafiq.

Ia menyayangkan, berdasarkan temuan Riskesdas, prevalensi stunting tinggi di daerah yang angka pemberian ASI eksklusifnya tinggi. “Ternyata, asupan nutrisi ibu saat menyusui lebih rendah dibandingkan saat hamil. Sehingga mungkin produksi ASI-nya kurang,” terangnya.

Hal senada disampaikan oleh Dr. drg. Sandra Fikawati, MPH, Sekretaris Pusat Kajian Gizi dan Kesehatan Universitas Indonesia, saat dijumpai dalam kesempatan yang sama. “Selama ini kita mengampanyekan ASI eksklusif, tapi tidak pernah ada edukasi, makanan seperti apa yang harus dikonsumsi oleh ibu menyusui. Akhirnya ibu pun kurang gizi karena menyusui terus tapi asupan gizinya jelek,” sesal Fika, begitu ia biasa disapa.

Menyusui bukan hal yang mudah. Suami dan orang terdekat ibu, hingga lingkungan dan negara, harus bersama mendukung ibu yang ingin memberi ASI eksklusif. Di negara maju misalnya Amerika Serikat, ibu yang memilih untuk memberi ASI eksklusif akan mendapat bimbingan konseling laktasi. Ibu juga mendapat makanan tambahan untuk mendukung pemenuhan gizinya.

Jangan berpikir bahwa pemberian ASI eksklusif otomatis akan mencukupi kebutuhan gizi bayi. “Asupan gizi selama ibu menyusui sangatlah penting, terutama selama enam bulan agar ASI eksklusif berlangsung optimal,” imbuh Fika.

Sembako bagi ibu hamil dan menyusui harus disesuaikan dengan rekomendasi kebutuhan gizi bagi ibu hamil dan menyusui. Tentu ini harus dilakukan ebrbasis riset, serta didukung dengan evaluasi dan monitoring yang berkesinambungan, sehingga program terkawal dengan baik, dan hasilnya bisa dievaluasi.

Susu yang diusung dalam program sedekah putih layak dipertimbangkan untuk mencegah/mengatasi stunting. “Susu memiliki kelebihan dibanding sumber protein lain. Yakni kandungan asam aminonya lengkap, dan paling mudah dicerna,” terang Syafiq. Tentu alangkah baik bila tiap anak bisa mengonsumsi beragam jenis makanan. Terutama sumber protein hewani, yang krusial bagi tumbuh kembang anak dan mencegah stunting.

Masalah stunting di Indonesia 3x lebih berat ketimbang obesitas. Bahkan, stunting sendiri sebenarnya bisa meningkatkan risiko obesitas di kemudian hari. Siapapun presiden terpilih nantinya, pengentasan stunting harus menjadi program kerja utama. Ide dan terobosan yang diungkapkan oleh kedua paslon hendaknya dikaji dan dijalankan, tanpa memandang ide tersebut berasal dari kubu mana.

Setidaknya, perbaikan nutrisi diperpanjang hingga usia 5 tahun, bila tidak bisa sampai 8.000 HPK. “Protein hewani jangan dilupakan. Masih banyak anak yang kekurangan makronutrisi, jadi jangan malah diberikan mikronutrisi. Mikro itu untuk menunjang makro. Kalau makronya saja berantakan, ya percuma,” tutur Fika.

Ia melanjutkan, anak Indonesia harus bisa makan dengan asupan gizi yang baik; harus bisa diupayakan makanan yang terjangkau bagi masyarakat. “Kalau tetap seperti ini, stunting akan terus ada,” tandasnya. (nid)

_________________________________

Ilustrasi: Kids photo created by freepik - www.freepik.com