Demensia berarti otak sudah sakit. Dr. dr. Yuda Turana, Sp.S, menyebutnya sebagai “gagal otak”. Demensia adalah gangguan kognisi tahap akhir, dan merupakan hasil akhir dari sebuah proses perjalanan yang panjang. “Saat seseorang sudah didiagnosis demensia, sebenarnya tidak banyak yang bisa dilakukan,” ujarnya.
Penyakit ini sulit diobati. “Tidak ada satu pun obat yang bisa menghentikan progresivitasnya,” sesalnya Dr. dr. Yuda. Obat-obatan yang tersedia hanya memperlambat progresivitas. Ia menekankan, pada demensia vaskular yang berperan penting adalah pola hidup, bukan genetik. Maka, pencegahan merupakan kunci utama.
Minimnya pilihan obat
Banyak penemuan baru dalam bidang neuroscience, tapi tidak banyak ditemukan obat baru demensia. Banyak obat yang sukses saat uji coba pada binatang, tapi tidak berhasil pada manusia. Obat-obatan yang ada pun lebih banyak untuk demensia Alzheimer. “Belum ada obat yang efektif untuk demensia vaskular,” ungkap Dr. dr. Yuda.
Obat terakhir yang ditemukan untuk demensia yakni memantine pada 2003, untuk demensia Alzheimer derajat sedang – berat. Pada penelitian binatang, memantine dilaporkan bersifat neuroprotektif yang berdampak secara positif pada proses neurodegenerative maupun proses vaskular. Namun pada manusia, efeknya sangat kecil terkait demensia vaskular.
Ada obat berisi ginko biloba yang diklaim bermanfaat untuk demensia vaskular. “Namun evidence base-nya belum cukup besar, sehingga tidak semua guideline memasukkannya sebagai obat; hanya sebagai suplemen,” terang Dr. dr. Yuda. Obat ini ada di Indonesia. Bisa menjadi salah satu pengobatan alternative bagi pasien demensia vaskular, karena efek sampingnya sangat minimal.
Terapi non obat
Ada sebuah penelitian menarik yang dilakukan pada pasien demensia Alzheimer. “Tapi kalau terkait masalah kognitif mungkin hampir mirip,” ujar Dr. dr. Yuda. Pada penelitian ini, pasien Alzheimer dibagi menjadi empat kelompok. Satu kelompok mendapat mimentine plus terapi stimulasi kognitif. Kelompok dua hanya mendapat obat, kelompok tiga hanya menjalani terapi stimulasi kognitif, dan kelompok empat tidak mendapat terapi apa-apa.
Terapi stimulasi kognitif berupa terapi kelompok, di mana pasien Alzheimer dikumpulkan untuk melakukan permainan tertentu yang terarah, untuk menstimulasi kognitif. Penelitian dilakukan selama dua tahun.
Seperti diduga, yang terbaik yakni kelompok pertama yang mendapat obat dan terapi stimulasi kognitif. Yang paling jelek yakni kelompok empat yang tidak mendapat apa-apa. “Yang menarik adalah kelompok dua dan tiga. Ternyata, kelompok yang mendapat terapi stimulasi kognitif saja, hasilnya lebih bagus daripada yang mendapat obat saja,” ucap Dr. dr. Yuda.
Dari penelitian ini bisa disimpulkan bahwa apapun jenis demensia, tidak bisa semata mengandalkan obat. “Justru yang paling penting, otak distimulasi. Lebih bagus lagi bila bisa dua-duanya,” tandas Dr. dr. Yuda.
Tak kalah penting, mengendalikan faktor risiko untuk demensia vaskular. Simak pemaparannya dalam artikel selanjutnya di sini. (nid)
____________________________________________
Ilustrasi: Background photo created by freepik - www.freepik.com