Lakukan medical check up 1x setahun. “Tujuannya untuk meminimalisir risiko stroke,” ujar dr. Andi Darwis, Sp.Rad (K) dari RS Pondok Indah (RSPI) Puri Indah. Kelainan pada pembuluh darah bisa diketahui dengan angiografi, pemeriksaan yang menunjukkan pencitraan pembuluh darah otak dan leher.
Angiografi bisa dilakukan dengan DSA, CT Scan dan MRA. DSA dianggap sebagai standar emas pemeriksaan angiografi. Dilakukan dengan memasukkan kateter (selang kecil) ke pembuluh darah, lalu disemprotkan cairan kontras. Selanjutnya, dilakukan pemotretan dengan sinar X. CT Scan juga menggunakan sinar x, dengan pengolahan secara komputerisasi sehingga didapatkan visualisasi 3 dimensi. Adapun MRA dilakukan dengan mesin MRI (magnetic resonance imaging), yang menggunakan magnet untuk menangkap pencitraan. “Berbagai penelitian menunjukkan, hasil MRA bisa dibandingkan dengan DSA,” ujar dr. Andi.
Keunggulan MRA, tidak selalu perlu menggunakan cairan kontras, tidak invasif (tidak ada tusukan), dan tidak melibatkan radiasi. Juga tidak perlu persiapan khusus seperti DSA. Namun, MRA tidak bisa digunakan pada mereka yang mengenakan alat pacu jantung (pacemaker), stent/ring jantung, pen dan alat berbahan logam yang menempel di tubuh, kecuali bila alat tersebut bersifat ‘MRI friendly’.
MRA bisa dilakukan di usia berapa saja, khususnya bila ada gejala sakit kepala berulang. “Kalau kita MRA dan tidak ada aneurisma, paling tidak pembuluh darah otak tidak akan pecah karena aneurisma,” tutur dr. Rubiana Nurhayati, Sp.S dari RSPI Pondok Indah. Aneurisma adalah bawaan lahir; makin lama bisa makin besar. “Kalau tidak ada, tidak akan tumbuh,” imbuhnya. Ada aneurisma yang stabil hingga meninggal, dan tidak memunculkan keluhan.
Banyak pasien memiliki aneurisma ditemukan secara tidak sengaja, saat dilakukan skrining. Bila ditemukan, diukur diameternya. “Kalau kurang dari 2,5 mm dibiarkan, karena kemungkinan pecah kecil,” terang dr. Rubiana. Disarankan kembali melakukan MRA 6 bulan atau satu tahun mendatang. Bila diameter >2,5 mm, harus diterapi.
Sering sakit kepala atau pusing, termasuk gejala AVM (arteriovenous malformation) dan stenosis (penyempitan pembuluh darah. Umumnya gejala AVM muncul di usia 10-40 tahun. Kerusakan jaringan otak akibat AVM berlangsung dari waktu ke waktu; menumpuk timbul gejala pada usia dewasa muda.
Stenosis berhubungan dengan pola makan. Plak atau aterosklerosis bisa terbentuk, akibat penumpukan kolesterol di dinding pembuluh darah. Mereka yang sering mengonsumsi makanan tinggi kolesterol seperti jeroan, sebaiknya skrining di usia 30-40 tahun. Pemeriksaan diulang 6 -12 bulan bulan kemudian.
Pemeriksaan yang lebih sederhana mencakup tekanan darah, urin, dan darah untuk melihat kadar kolesterol dan gula darah. Mereka dengan diabetes melitus dan hiperkolesterolemia (kadar kolesterol tinggi) atau ada riwayat penyakit tersebut dalam keluarga, bisa melakukan pemeriksaan darah mandiri secara berkala. Penderita hipertensi atau punya riwayat keluarga, bisa periksa rutin dengan alat ukur tensi mandiri, untuk menilai faktor risiko stroke. Bila ‘lampu kuning’, bisa ditangani sehingga serangan stroke bisa dicegah.