Jantung berdetak sekitar 100 ribu kali sehari. Setiap kali berdetak, jantung memompa darah ke seluruh pembuluh darah, termasuk ke pembuluh darah kapiler.Kekuatan darah saat dipompa menimbulkan tekanan pada dinding di dalam pembuluh darah. Di sisi lain, dinding pembuluh darah mempunyai resistensi terhadap aliran darah. Kedua hal inilah yang menciptakan tekanan darah.
Jika pembuluh darah melebar, tekanan darah dengan sendirinya akan turun. Sebaliknya, jika pembuluh darah menyempit, tekanan akan meningkat.Peningkatan ini menyebabkan jantung harus bekerja lebih keras dari biasanya, untuk mengedarkan darah melalui pembuluh darah.
Tekanan darah melibatkan dua pengukuran, sistolik dan diastolik, tergantung apakah otot jantung berkontraksi (sistole) atau berelaksasi di antara denyut (diastole). Panduan medis menyatakan bahwa tekanan darah sistolik normal pada orang dewasa, adalah dalam kisaran sistolik 100–140 mmHg dan diastolik 60–90 mmHg.
“Jika tekanan darah sistolik terus-menerus berada pada 140/90 mmHg atau lebih, berarti yang bersangkutan menderita tekanan darah tinggi atau hipertensi,” jelas dr. Arieska Ann Soenarta, Sp.JP(K), FIHA, pada acara World Hypertension Day 2016.
Sering Tidak Diketahui Penyebabnya
Studi menunjukkan pada 90-95% kasus, hipertensi tidak diketahui penyebabnya, istilah medisnya disebut hipertensi essensial. Biasanya dipicu oleh gaya hidup yang kurang aktif, merokok, berat-badan berlebih, diet tinggi lemak, konsumsi alkohol dan tingkat stress yang tinggi. Sisanya disebut hipertensi sekunder, terjadi pada 5-10% orang dengan penyakit lain yang menyebabkan tingginya tekanan darah dan memerlukan pengobatan segera.
Perempuan Lebih Beresiko
Bila ditinjau dari prevalensi, hipertensi menduduki angka yang cukup tinggi dan akibat yang ditimbulkannya masih menjadi masalah dalam kesehatan masyarakat di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Sepertri disampaikan dr. Arieska,“Hipertensi diprediksikan akan meningkat pada laki-laki 9% dan perempuan 13%, pada tahun 2000-2025.”
Populasi lansia (lanjut usia) di dunia pada tahun2025 dan usia harapan hidup lebih lama, akan terjadi pada perempuan daripada lelaki, sehingga meningkatkan prevalensi hipertensi pada perempuan.
Data tersebut menunjukkan bahwa ancaman hipertensi lebih besar mengintai perempuan dibanding laki-laki.Hal ini tak lain karena perempuan memiliki beberapa kondisi khusus yang berhubungan dengan masa kehamilan, kontrasepsi oral, menopause, dan kondisi sindrom pramenstruasi (PMS) parah. Angka kejadian hipertensi pada perempuan juga dipengaruhi oleh angka harapan hidup perempuan yang lebih panjang.
Kehamilan dan Kontrasepsi
Beberapa studi yang berkaitan dengan hipertensi dan kehamilan menunjukkan bahwa hipertensi merupakan penyakit penyerta tersering pada kehamilan, dan mengakibatkan komplikasi pada 1 dari 10 kehamilan.
Penelitian The Nurses Health Study menemukan kemungkinan terjadinya hipertensi pada perempuan pengguna kontrasepsi oral, lebih tinggi 80% bila dibandingkan dengan yang tidak menggunakan. Risiko terjadinya hipertensi ini sedikit lebih tinggi pada perempuan yang mengonsumsi kontrasepsi oral selama lebih dari 6 tahun.
Menopause
Pada wanita yang sudah menopause, hipertensi diduga berkaitan dengan perubahan hormon pada ovarium yang dapat memodulasi tekanan darah. Hasil penelitian Megan Coylewright dan koleganya menemukan bahwa perempuan dalam masa menopause lebih tinggi tekanan darahnya, ketimbang perempuan pre-menopause. Memasuki masa menopause, kadarestradiol serta perbandingan rasio estrogen dan testosterone menurun. Hal ini mengakibatkan disfungsi endothelial dan menambah BMI (Body Mass Index). Disfungsi endhotelial ini akhirnya meningkatkan kesensitifan terhadap garam, serta kenaikan endhotelin dan angiotensin. Akibatnya, terjadi penyempitan pembuluh darah dan stres oksidatif yang akhirnya berujung pada hipertensi.
PMS Parah
Sebuah penelitian terbaru menemukan bahwa kasus hipertensi semakin meningkat di kalangan perempuan muda; diduga karena sindrom pramenstruasi (PMS). Dilansir dari Medical Daily, kondisi PMSyang buruk memicu terjadinya hipertensi, disfungsi sistem renin- angiotensin aldosteron yang mengatur keseimbangan natrium, volume darah dan penyempitan pembuluh darah arteri.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan dengan gejala PMS yang buruk, 40% berisiko lebih tinggi terkena tekanan darah tinggi selama 20 tahun mendatang. Parahnya, risiko tersebut mengincar mereka dengan usia di bawah 40 tahun. Untuk itu, perempuan muda yang sering mengalami kondisi PMS seperti nyeri perut, pegal-pegal, pusing, lemas, mual, kehilangan gairah, hingga perasaan sensitif yang tinggi, perlu berhati-hati.
Pembunuh Diam-Diam
Hipertensi dapat muncul tanpa gejala nyata dan sering kali tidak disadari sampai munculnya gejala penyakit lain. Seringnya, seseorang baru mengetahui menderita hipertensi saat memeriksakan diri karena mengalami gejala penyakit lain. Beberapa orang dengan tekanan darah tinggi, melaporkan mengalami sakit kepala (terutama di bagian belakang kepala pada pagi hari), serta pusing, vertigo, tinnitus (dengung atau desis di dalam telinga), gangguan penglihatan atau pingsan. “Tekanan darah tinggi itu harus diperiksa dengan alat ukur tekanan darah, bukan sekadar berdasarkan gejala yang dirasakan,” jelasnya.
Jika tidak dikontrol, hipertensi dapat mengakibatkan masalah kesehatan yang serius. Pada hipertensi, tekanan darah yang tinggi dapat merusak pembuluh darah dan membatasi aliran darah menuju organ-organ penting dalam tubuh. Karenanya, organ tubuh tidak mendapat pasokan darah.Bila hal ini terjadi di organ jantung, akan terjadi serangan jantung. Bila terjadi di otak, timbullah serangan stroke. Kemungkinan lain adalah kerusakan mata, ginjal, dan masalah kesehatan serius lain.’
“Itu sebabnya, hipertensi sering disebut sebagai “silent killer,”ujar dr. Arieska. [Puj]