Bahaya Sinar Biru | OTC Digest

Bahaya Sinar Biru

Dalam Illiad dan Oddisseia, penyair Yunani Kuno Homerus melukiskan “laut yang berwarna anggur gelap”. Penggambaran ini muncul berkali-kali, dalam dua karya epik tersebut. Para ahli memperdebatkan, warna apa yang dimaksud dalam ungkapan tersebut, dan mengapa Homerus tidak menggunakan kata yang lebih familiar seperti “biru gelap”. 

Belum lama ini psikolog Jules Davidoff meneliti suku Himba di Namibia, yang tidak memiliki kata ‘biru’. Mereka diperlihatkan 12 persegi yang membentuk lingkaran; satu di antaranya berwarna biru, sisanya hijau. Sebagian besar tidak bisa menunjuk persegi berwarna biru. Mereka yang bisa, membutuhkan waktu lebih lama ketimbang kita orang kebanyakan. Ini juga menjelaskan fenomena baju ‘biru-hitam’ atau ‘putih-emas’, yang sempat menghebohkan dunia maya beberapa waktu lalu. Persepsi kita tentang warna bisa berbeda. Dan, ternyata, biru tidak hanya sekedar warna, tapi juga berdampak besar bagi kesehatan.

Biru, seperti warna lainnya, adalah ‘pecahan’ dari warna putih, seperti yang kita pelajari saat SD: me-ji-ku-hi-bi-ni-u. “Cahaya terdiri atas partikel-partikel elektromagnetik berupa gelombang yang menghasilkan energi, dan bervariasi panjang serta kekuatannya,” terang dr. Florence M. Manurung, Sp.M (K) dari Jakarta Eye Center (JEC) Menteng, Jakarta.

Sinar biru (blue light) termasuk dalam spektrum sinar gelombang pendek (380-500 nm), tapi masih terlihat. Makin pendek panjang gelombang, makin tinggi energi yang dihasilkan. Sinar biru memiliki gelombang paling pendek dari spektrum cahaya yang terlihat. Cahaya dengan gelombang yang lebih pendek lagi yakni UV, yang tidak terlihat oleh mata kita.

Sinar biru lebih mudah berkelip (flicker) ketimbang sinar yang gelombangnya lebih panjang, dan menghasilkan cahaya menyilaukan (glare) yang dapat mengurangi kontras visual, serta memengaruhi ketajaman dan kejelasan. “Flicker dan glare ini menyebabkan mata mudah lelah, sakit kepala, serta kelelahan mental dan fisik akibat duduk terlalu lama di depan komputer,” tutur dr. Florence.

Menurutnya, filter di mata manusia tidak cukup menahan sinar biru, baik dari matahari maupun yang buatan. “Paparan lama terhadap sinar biru dapat menyebabkan kerusakan mata yang cukup serius,” imbuhnya. Yakni kerusakan retina berupa age-related macular degeneration (AMD), yang dapat menyebabkan kebutaan di masa tua.

 

Pengaruh jangka pendek dan panjang

Secara alami, sinar biru berasal dari cahaya matahari; inilah yang membuat langit terlihat berwarna biru. Adapun barang elektronik (lampu LED/fluoresen) dan layar digital (TV, monitor komputer/laptop, smart phones, tablet) menghasilan sinar biru artifisial (buatan). Bisa dibilang, kita terpapar sinar biru saat berada di luar maupun dalam ruangan, siang dan malam. Seperti kata dr. Florence, hal ini bisa menimbulkan gangguan pada mata.

Bagian kornea dan lensa mata manusia dewasa, dapat memblok sinar ultra violet (UV) dengan sangat baik. Hanya <1% radiasi UV yang mencapai retina, bagian belakang bola mata yang sensitif terhadap cahaya, bila kita tidak memakai kacamata hitam saat berpanasan di luar ruangan. Namun, mata kita tidak memiliki cukup filter untuk sinar biru, sehingga sinar ini bisa masuk melewati kornea dan lensa mata, dan mencapai retina.

Apalagi, perangkat elektronik dibuat untuk semakin memuaskan mata. Banyak layar komputer/laptop, TV layar datar dan gawai menggunakan teknologi LED back-light, untuk meningkatkan ketajaman dan kecerahan layar. Sayangnya, cahaya LED memancarkan gelombang sinar biru yang sangat kuat.

Berbagai penelitian menemukan, 60% orang menghabiskan waktu >6 jam sehari di depan perangkat digital. Sehari-hari, kita bekerja di depan komputer. Di luar jam kerja, kita asyik mengutak-atik gawai (gadget) atau menonton TV, bahkan bisa hingga tengah malam.

“Dalam jangka pendek, kebiasaan ini menghasilkan digital strain atau komputer vision syndrome,” ujar dr. Florence. Ini adalah kelelahan mata akibat paparan lama dengan benda elektronik. Gejalanya antara lain penglihatan buram, sulit fokus pada suatu objek, mata mudah iritasi dan kering, hingga sakit leher dan bahu. “Hampir 70% orang dewasa yang bekerja di depan layar digital mengeluhkan gejala-gejala ini,” katanya.

Untuk jangka panjang, makin banyak bukti medis yang menunjukkan bahwa paparan sinar biru dapat menyebabkan kerusakan mata permanen, merusak sel-sel di pusat retina dan AMD. Selain lensa dan kornea, mata memiliki pelindung lain. Yakni melanin, pigmen yang juga terdapat di kulit dan rambut. Pada mata, melamin terdapat di bagian iris, yang membuat biji mata tampak berwarna hitam, coklat, biru atau hijau.

Melanin merupakan pelindung tubuh alami terhadap paparan sinar matahari, yang menyerap UV dan sinar biru, sehingga mencegahnya merusak sel-sel tubuh. “Semakin banyak jumlah melanin, semakin tinggi proteksi terhadap sinar. Dengan bertambahnya usia, jumlah melanin akan  berkurang sehingga kerusakan mata lebih mudah terjadi,” papar dr. Florence.

Bila sinar biru berhasil menembus melanin, bisa terjadi kerusakan pada retina. Studi medis di Harvard, Amerika Serikat, AS, menyebutkan bahwa sinar biru HEV (high energi visible) telah dikenali sebagai cahaya yang paling berbahaya bagi retina. Paparan sinar biru yang kronik (terus menerus dalam waktu lama) pada mata, ditengarai dapat meningkatkan kejadian AMD, glukoma dan penyakit-penyakit degeneratif pada retina.

Penelitian-penelitian lain menunjukkan toksisitas (keracunan) sinar biru pada RPE (Retinal Pigment \Epithelium) dan sel-sel fotoreseptor.  Akumulasi paparan sinar biru memicu reaksi fitikimia berantai, yang menghasilkan stress oksidatif dan mengubah retina secara progresif dan permanen.

Tidak semua sinar biru berbahaya. Sinar biru dengan energi paling rendah (panjang gelombang 465-500) yang disebut sinar biru-toska, justru esensial bagi kesehatan. Sinar ini penting untuk refleks pupil, membantu irama sirkadian tubuh, sintesa melatonin, performa kognitif, mood, aktivitas lokomotor, memori dan suhu tubuh. Sayangnya, sinar matahari siang dan perangkat elektronik menghasilkan sinar biru yang panjang gelombangnya lebih pendek dan energinya besar, disebut sinar biru-violet. (nid)

 

Bersambung ke: Anak-Anak Lebih Berisiko