Jumlah penderita diabetes di Indonesia ternyata memprihatinkan. International Diabetes Federation (IDF) pada 2017 lalu menyatakan penderita diabetes di Indonesia mencapai 10,3 juta orang. Karenanya Indonesia termasuk negara ke 6 dengan jumlah penderita diabetes terbanyak di dunia. Angka tersebut diprediksi akan terus naik hingga 16,7 juta jiwa pada 2045.
Lebih dari 90% kasus diabetes merupakan diabetes melitus tipe 2 (DM2) yang disebabkan oleh gaya hidup. Dr. Fatimah Eliana, SpPD, KEMD, dari Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) menjelaskan sebagian besar kasus DM2 di Indonesia dipicu oleh obesitas, walau sekitar 30% penderita DM memiliki berat badan normal, bahkan kurus.
Penelitian Soeatmadji DW, dkk., menyatakan rata-rata penderita diabetes di Indonesia tergolong overweight dengan IMT (indeks massa tubuh) sebesar 26,4 kg/m², dan rata-rata lingkar pinggang sebesar 94 cm.
“Indonesia menempati peringkat pertama nilai HbA1C tertinggi dari 38 negara yang berpartisipasi dalam Studi DISCOVER, dengan angka HbA1c sebesar 9,2%,” terang dr. Eliana, pada seminar pencanangan program Early Action in Diabetes (EAiD) di Jakarta (20/12/2018).
HbA1c (hemoglobin A1c) adalah hemoglobin yang berikatan dengan glukosa di dalam sel darah merah. Pemeriksaan HbA1c dipakai untuk menilai rata-rata gula darah dalam tiga bulan terakhir; nilai normal adalah <6,0%, prediabetes antara 6,0 - 6,4% dan diabetes jika > 6,5%. Para ahli sepakat menetapkan target terapi diabetes untuk menurunkan nilai HbA1c hingga <7%.
Menurut riset yang dimuat dalam The DiabCare Indonesia (2012) dijelaskan bahwa 69,2% penderita yang sudah menjalani terapi, tidak mampu mencapai target kadar HbA1C. Ini berdampak pada tingginya risiko komplikasi, baik ke pembuluh darah besar (makrovaskular) atau mikorvaskular.
Studi DISCOVER (2017) juga mencatat sebanyak 17,2% pasien diabetes di Indonesia mengalami komplikasi makrovaskular, seperti penyakit arteri koroner, stroke, gagal jantung, kaki diabetes dan serangan jantung.
Kompliksi mikrovaskular tercatat terjadi 77,4% penderita; muncul dalam bentuk gangguan saraf tepi (neuropati perifer), penyakit ginjal kronis, disfungsi ereksi dan retinopati (radang pembuluh darah di retina).
Skrining
Untuk menghindari risiko komplikasi organ, penting dilakukan pencegahan dan deteksi dini diabetes. Gejala klasik seseorang menderita diabetes, menurut Prof. Dr. dr. Agung Pranoto, SpPD-KEMD, Ketua Persatuan Diabetes Indonesia (PERSADIA), adalah banyak makan, sering kencing dan gampang haus, serta kadang disertai berat badan turun.
“Masalahnya lebih 50% penderita diabetes bisa tanpa gejala, sehingga kerap kali datang ke dokter sudah dengan komplikasi jantung, stroke, atau luka di kaki yang tidak sembuh-sembuh,” katanya.
Mereka yang termasuk kelompok berisiko tinggi menderita diabetes disarankan melakukan pemeriksaan (skrining). Kelompok berisiko tinggi antara lain yang memiliki riwayat keluarga menderita diabetes, memiliki penyakit hipertensi, kolesterol tinggi, obesitas, kurang aktivitas fisik, pernah mengalami diabetes saat hamil (diabetes gestasional), dan perokok.
“Pada mereka ini dianjurkan melakukan pemeriksaan secara berkala satu atau tiga tahun sekali, walau tidak ada gejala. Bahkan ada guideline yang mengatakan pada kelompok risiko tinggi yang berumur 45 tahun ke atas harus tes gula darah tiap tahun,” tambah Prof. Agung.
Bila seseorang terdeteksi pada prediabetes, dengan perubahan gaya hidup dapat dicegah untuk tidak berkembang menjadi diabetes. Prediabetes biasanya ditandai dengan kondisi yang disebut acanthosis nigrican. Yakni kulit berubah menjadi kehitaman, tebal dan seperti beludru di area-area, seperti di leher belakang, ketiak atau selangkangan. (jie)