Bagi Rizka, botak itu lucu dan tetap cantik. Efek buruk kemoterapi tidak memadamkan semangatnya untuk terus berjuang dan menjalani hidup sebaik-baiknya.
Langkah perempuan itu mantap. Paras dan gesturnya menunjukkan kepribadian yang kuat dan penuh semangat. Kerudungnya begitu serasi dengan baju merah garis-garis yang dikenakannya. “Halo Mbak, aku Rizka,” senyumnya ramah. Rizka Fardy, seorang advokat di Jakarta, awal Agustus 2016 selesai menjalani enam sesi kemoterapi. Siang itu, ia mulai menjalani radioterapi. Tidak tergambar sedikit pun rasa sakit atau takut di wajahnya. Auranya tampak begitu kuat memancar.
“Hari ini radiasi pertama. Jadwalnya 25-30 kali, setiap hari,” ujarnya. Ia menyingkap kerudung dan menampakkan kepalanya yang plontos, karena pengaruh obat-obatan kemo untuk kanker payudara. Sepuluh hari setelah kemo pertama, “Rambutku bukan hanya rontok, tapi lepas.” Rambut yang berguguran di mana-mana sangat mengganggu; akhirnya ia putuskan untuk mencukur habis rambutnya.
Ibu satu anak ini menyadari ada benjolan di payudara kirinya awal Januari 2016, “Seperti ada bola kecil di dalam.” Awalnya, ia pikir itu adalah kelenjar susu yang mengeras. Saat itu, putrinya Aleksa (sekarang 3 hampir tahun) masih menyusu. “Aku kira karena kerja dan tidak sempat memompa ASI (air susu ibu), kelenjar susu membengkak. Tapi kok tetap ada meski aku sudah menyusui, kompres dan pompa,” tuturnya.
Rizka konsultasi ke dokter. Melalui pemeriksaan USG, ditemukan tumor berukuran 2 cm di payudara kiri; dicurigai tumor jinak. Tanpa pemeriksaan lebih lanjut, dokter menyarankan untuk segera dioperasi. Rizka mencari 2nd opinion ke dokter lain, beberapa hari kemudian.
Agar lebih nyaman, kali itu konsultasi dengan dokter perempuan. Rizka kembali di-USG; tampak tumornya membesar jadi 3 cm. Dilakukan biopsy untuk mengambil contoh jaringan tumor, yang kemudian dikirim ke bagian PA (patologi anatomi).
Hasil biopsy memastikan, jaringan tersebut adalah kanker grade 3, yang berarti penyebarannya cepat. Jenis selnya membelah dengan cepat. Rizka tak kuasa menahan air mata, “Nggak pernah kebayang; rasanya kanker itu jauh.” Tak ada rasa sakit atau apa. Apalagi ia menyusui, yang secara teori menurunkan risiko kanker payudara. Dalam keluarga pun tidak ada riwayat kanker.
Sempat ia menyangkal, ‘masa sih?’. Namun, dokter PA yang memeriksa contoh jaringan kanker, reputasinya bagus. Kecil kemungkinan terjadi kesalahan. Kata dokter, ia perlu menjalani mastektomi (pengangkatan payudara). Rizka merasa tidak masalah, kalau memang itu cara terbaik. Tiba di rumah, keraguan melanda, “Kata suami, tunda dulu kalau belum siap.” Akhirnya ia mantapkan hati untuk menjalani operasi, karena kalau ditunda makin berbahaya.
Menjalani pengobatan
Bisa dibilang, Rizka tak punya banyak waktu untuk berpikir atau merasa ragu. Hari Senin terima hasil PA, tiga hari kemudian, Kamis, 13 Februari 2016, ia menjalani operasi. Ukuran kankernya sudah 4 cm. Ia tidak perlu menjalani mastektomi, karena tidak ada penyebaran di payudara. Hanya benjolan kanker di payudara yang diambil, beserta enam kelenjar getah bening, “Satu kelenjar sudah ada embrio sel kanker. Dilihat dari penyebarannya, kankerku stadium 2B.”
Usai operasi, ia menjalani pemeriksaan CT scan. Disuntikkan cairan kontras dan bone scan. Ia bersyukur, hasilnya bagus. Zat kontras dan kemoterapi, membuatnya harus berhenti menyusui Aleksa, meski ASI-nya masih melimpah. Setelah operasi, legokan di tempat operasi penuh ASI, sehingga harus disedot keluar.
Kanker yang menyerang Rizka tipe HER-2 negatif. Artinya, tidak diketahui apa penyebabnya, dan tidak dipengaruhi oleh hormon, “Jadi, tidak bisa minum obat. Hanya bisa diatasi dengan kemo dan radiasi.” Angka kekambuhan kanker payudara seperti yang dialami Rizka, secara statistik lebih tinggi; kanker yang berhubungan dengan hormon, kekambuhannya bisa ditekan dengan minum obat selama 5-10 tahun.
April 2016, Rizka mulai menjalani kemoterapi setiap 3 minggu. Selain rambut rontok, “Badan terasa panas. Kepala botak, tapi keringetan terus.” Belajar dari teman-teman survivor yang dikenalnya melalui support group Love Pink, Rizka berusaha tidak memikirkan efek buruk yang mungkin muncul akibat kemo.
Beruntung, ia tidak mual dan muntah. Sehari sebelum kemo, ia minum obat antiradang. Dalam sesi kemoterapi, satu jam pertama ia mendapat obat antiradang dan antimual melalui infus. Sayangnya, obat-obatan ini menciptakan butterfly effect; ia tidak merasa mual, tapi lambungnya perih. “Perutku bengkak dan keras, seperti orang hamil,” ujarnya. Agar lambung tidak terasa perih, ia paksakan makan. Dokter bilang, selama pengobatan ia butuh asupan nutrisi; silakan makan apa saja, jangan sampai stamina drop karena memantang makanan. Tapi mulut terasa pahit, “Kepingin makan rujak, pokoknya yang segar. Kayak lagi hamil muda, ha ha ha.”
Bobotnya naik dari 49 kg menjadi 55 kg. Namun, kondisinya drop. Kadar leukosit (sel darah putih), Hb dan sel darah merah jauh di bawah normal. Setiap usai kemo, ia mendapat suntikan leukosit. Pernah ia mengigil karena kadar leukositnya terlalu rendah. Efek lain kemo, badan terasa sangat tidak enak dan sakit-sakit seperti ditabrak truk. Saat bersendawa, terasa obat. Pola BAB (buang air besar) kacau; kadang diare, kadang sembelit.
Yang paling mengganggu, ia mengalami chemo brain; cepat lupa “Umur 31 kayak nenek-nenek. Sekarang, semua harus aku catat.” Untuk pulih dari efek chemo brain, perlu waktu cukup lama. Agar pikirannya tetap aktif, ia menyibukkan diri. Di awal menjalani kemo, ia bolak-balik ke Bandung untuk mengurus sidang salah seorang kliennya. Ia juga mencoba berbagai resep makanan dan menampilkannya di Facebook, dengan tanda pagar #dapuradvokat.
Ada yang terlewat. Dokter lupa memberitahu bahwa sebelum kemo, sebaiknya periksa dulu kesehatan gigi. Bila ada masalah, diobati dulu. “Obat kemo merangsang gigi bungsuku tumbuh. Sakit sekali,” ucap Rizka. Tidak bisa dioperasi karena daya tahan tubuh sedang menurun, membuat lukanya tak kunjung sembuh. Jadi, “Aku hanya bisa minum obat agar tidak terasa sakit.”
Belajar ikhlas
Teman-teman di Love Pink memberi dukungan luar biasa. Mereka menemani saat Rizka menjalani operasi, dan terus menyemangati selama kemo. Akhirnya, Rizka ikut menyemangati beberapa kawan yang baru mulai terapi. Ia menceritakan pengalamannya dan mengajak mereka untuk tidak terlalu memikirkan efek kemo; memang sakit, tapi semuanya akan terlewati. Banyak yang takut botak. “Aku bilang, botak tuh lucu; tetap cantik kok. Tak perlu kuatir, kan rambut nanti tumbuh lagi.” Dengan menyemangati diri sendiri dan orang lain, “Membuat aku lebih siap menghadapi semuanya.”
Rizka sadar, kondisi fisik tergantung psikis. Beberapa hari setelah kemo, ia bertemu teman-teman dan mengobrol untuk mengembalikan mood. Dokter marah, “Karena seharusnya aku bed rest dan nggak boleh terlalu capek. Tapi kalau diam saja, aku merasa useless.” Ia bersyukur, jalan Tuhan selalu terbuka untuk pengobatannya. Semua biaya pengobatan (kecuali operasi), ditanggung kantor suaminya.
Tak bisa dipungkiri, saat rasa sakit mendera, Rizka down. “Tapi ya sudah, dijalani saja. Pasrah, walaupun takut. Dari sakit ini aku belajar ikhlas. Kalau aku meninggal, itu takdir,” tuturnya. Menurutnya, di sini pentingnya support group. Para penyintas menunjukkan energi positif, “Mereka happy, aku pun harus bisa.”
Aleksa adalah alasan lain di balik semangatnya. Tidak tega rasanya meninggalkan putri semata wayangnya di usia yang masih kecil. Ia ingin mempersiapkan Aleksa. Terpikir untuk membuat guidance book untuk Aleksa, bagaimana menghadapi hidup, seandainya ibunya keburu ‘pergi’. Juga catatan mengenai pentingnya memeriksakan kesehatan payudara.
Kampanye
Oktober diperingati sebagai Bulan Peduli Kanker Payudara Internasional. Oleh Love Pink, Rizka diminta terlibat dalam kampanye SADARI, agar perempuan sadar sejak dini periksa payudara. Ia mewakili penderita kanker yang masih menjalani pengobatan.
Rizka juga giat kampanye ke teman-temannya. Dulu, ia tertutup, tidak mau bercerita bahkan kepada mamanya. Ia tidak ingin orang lain tahu bahwa ia sedih. “Kadang, orang merespon dengan menangis. Itu bikin aku tambah down dan merasa dikasihani. Aku nggak mau itu,” ucapnya. Menurutnya, reaksi paling tepat untuk penderita kanker adalah senyum dan kata-kata yang menguatkan: kamu pasti bisa! Ini dibutuhkan karena terkena kanker sangat melelahkan. Mental, fisik, finansial, semua.
Ia sadar bahwa harus sharing. Lewat media sosial ia menuliskan ceritanya. Ternyata banyak teman yang merespon; mereka merasa punya keluhan dengan payudara, tapi tidak berani melakukan apapun karena takut. Rizka mendorong mereka untuk periksa ke dokter; tidak selalu benjolan itu kanker. Bisa jadi tumor jinak tapi tetap harus diobati. “Aku merasa terlahir kembali, bisa melakukan sesuatu untuk orang lain.”
Rizka merasa, waktunya sekarang amat berharga. Ia berusaha menjalani hidup sebaik-baiknya, dengan berkualitas. Ia ingin melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan. Ia ingin sekolah, traveling dan membuat guidance book untuk Aleksa, “Masih banyak janji yang belum ditepati dan mimpi yang belum selesai.” (nid)