Ahmad Zihni Rifai Tegar Hadapi Kanker Limfoma Stadium 4 (Bagian 2) | OTC Digest

Ahmad Zihni Rifai Tegar Hadapi Kanker Limfoma Stadium 4 (Bagian 2)

Pulang Kampung dan Menikah

Sebelum menjalani kemoterapi, Zihni disarankan berdiskusi dengan keluarga dan orang terdekat, yang dapat memberi dukungan moril dan materil. Zihni terpikir pulang ke Lombok, untuk menemui seorang wanita yang dicintainya (dengan istri pertama ia berpisah).

“Yang saya lamar itu seorang gadis, masih keponakan. Saya katakan terus terang bahwa saya sakit. Keluarga merasa terpukul. Setelah dua minggu, alhamdulillah pihak keluarga merelakan anaknya untuk merawat saya,” katanya.

Pernikahan dengan acara resepsi yang meriah, terlaksana karena kakak wanita calon mempelai wanita berhasil meyakinkan bahwa mendampingi seseorang yang masa hidupnya mungkin sudah tak lama lagi adalah mulia.

Usai menikah, Zihni dan istri honeymoon di Bali, kemudian kembali ke Jakarta untuk menjalani pengobatan. Ia menjalani 9x kemoterapi, dilakukan  setiap 3 minggu, sejak awal Agustus 2008. Benar kata dokter bahwa kemoterapi eksesnya ekstrim, terapi bisa gagal dan penderita meninggal.

Saat kemo pertama, Zihni masuk ruangan tempat meracik obat. Ia melihat suster memakai masker rangkap tiga dan sarung tangan rangkap empat, padahal hanya menuang obat.

“Waktu saya tanya, suster menjelaskan bahwa kalau kena tetesan obat tersebut tangannya bisa bolong, dan kalau terhisap paru-parunya yang bolong. Dan obat yang sangat keras itu akan dimasukkan ke tubuh saya,” kata Zihni.

Mual, muntah, diare, sariawan parah, berat badan susut 16 kg dan hilang tenaga,  ia rasakan selama kemoterapi. Pada kemo ke tujuh, ia hampir menyerah karena  untuk bangun dari tempat tidur pun ia tak punya tenaga.

 “Saya bilang ke istri bahwa saya sudah nggak kuat. Pikiran dan jiwa sudah tidak konek sama badan. Tidak bisa melakukan aktivitas apa pun,” paparnya. Di saat seperti itu, ia mendapat kabar bahwa kakak istrinya yang memberi dukungan penuh itu meninggal. Duka belum habis, teman dekatnya Bram Zakir – tokoh mahasiswa tahun 1978-an – yang juga mengidap kanker getah bening dan selalu memberi semangat agar tetap bertahan, juga meninggal.

“Waktu itu saya habis kemoterapi. Saya memaksa menghadiri pemakaman Bram Zakir (mantan aktivis Malari) dengan dipapah kiri kanan,” katanya. Beruntung, ia ingat nasihat seorang teman dekat asal Eropa yang menyatakan bahwa, “Kanker boleh memakan tubuhmu, tapi jangan pikiranmu!”

Ditambah dukungan istri, kerabat dan dokter serta bacaan “Ya, Salam” (Yang Maha Penyelamat) – 1 dari  99 Asma’ul Husna (nama-nama Allah) - sebanyak 121x setiap usai sholat, ia berhasil menjalani kemoterapi. Ia juga bersyukur karena Yayasan Kanker Indonesia memungkinkannya membeli obat kemo yang mahal dengan harga diskon.

Baca juga: Kisah Ahmad Zihni Rifai (Bagian 1)

Masa Remisi

Setelah kemoterapi, 3 bulan kemudian ia check up, menjadi 1x 6 bulan dan 1x setahun. “Pada scanning 3 bulan pertama, alhamdulillah pembengkakan di tempat awal sudah tidak ada,” katanya. Adapun benjolan dekat ginjal, sudah tidak menunjukkan tanda-tanda keganasan.  

Zihni memperbaiki gaya hidup. Dari seorang perokok berat – 2 bungkus sehari – kini ia stop merokok. Gula dan daging merah yang dapat meningkatkan keasaman darah, sementara sel kanker senang pada darah yang keasamannya tinggi, dihindari.

Ia beraktivitas senormal mungkin, termasuk dalam hal makan. Ia tak ingin stres gara-gara masalah makan, karena masih banyak pilihan makanan yang bisa dikonsumsi. Ia memilih sayuran organik dan memperbanyak buah seperti pisang kepok , apel dan nangka, untuk mengobati kerinduannya pada rasa manis. Protein diperoleh dari ikan atau ayam kampung.

“Berjalan dua tahun pascakemo aktivitas saya normal kembali. Sebelumnya, untuk jalan saja doyong. Kemoterapi menyedot massa otot yang semula 55 kg susut jadi 39 kg,” katanya. Ia masih tampak kurus, tapi sudah tidak sekurus saat menjalani kemoterapi.Di tahun ketiga aktivitasnya sudah kembali normal (jie)