Sakit pinggang. Orang bilang, itu penyakit orang tua. Maka Ny. Neneng (58 tahun),ibu 4 anak dan nenek 10 cucu, menganggap sakit pinggang yang diderita – di tulang belakang sebelah kiri – sebagai hal yang biasa. Apalagi sakitnya itu hilang-hilang timbul. Meski agak menderita, ia terus melanjutkan aktivitas harian seperti memasak, menjaga dan antar jemput cucu ke sekolah.
Oktober 2015 lalu, sakit pinggangnya menjadi-jadi. “Rasanya sakit banget, duduk lama atau berdiri lama nggak bisa. Ke kamar mandi dipapah, dimandiin,” ujar Ny. Neneng. “Tidur malam nggak nyenyak. Miring kanan sakit, miring kiri apalagi. Sakit sekali.”
Nyeri pinggang bawah (NPB) adalah nyeri yang terasa di antara iga terbawah sampai lipat bokong bawah. Sakit yang dirasakan, kadang disertai nyeri yang menjalar ke tungkai dan kaki. Penelitian menunjukkan, 90% NPB bukan disebabkan kelainan organik, tapi lebih pada kesalahan posisi tubuh saat bekerja. Riset di 14 kota Indonesia oleh Pokdi Nyeri PERDOSSI (Persatuan Dokter Saraf Seluruh Indonesia) tahun 2002 menemukan, penderita NPB sebanyak 18,13% dengan kategori sedang sampai berat. Setengah dari jumlah ini berusia 41-60 tahun.
Pada Ny. Neneng, nyeri yang hilang timbul menunjukkan ada perubahan struktur pembentuk pinggang (tulang, otot dan jaringan penyangga). Serangan sakit punggang yang hebat, membuat Ny. Neneng sebulan terakhir duduk di kursi roda. Merasa “cacat”, semangat hidupnya menurun. “Ibu sedih sekali dan merasa sudah mau mati. Anak-anak menangis melihat kondisi ibu,” ujarnya. “Sehari-hari, ibu hanya rebahan.”
Ny. Neneng dan keluarga tidak tahu penyebab penyakitnya. Suatu hati, ibu yang tinggal di daerah Depok, Jawa Barat, ini menginap di rumah seorang anaknya di Bekasi. Kondisi fisik dan psikisnya drop dan berkata, “Kayaknya mama sudah nggak kuat.”
Ia dibawa Rumah Sakit Hermina. Dokter spesialis bedah saraf menyarankan agar ia berobat ke klinik nyeri dan tulang belakang di daerah Mampang, Jakarta Selatan. Tanpa diduga, terjadi keajaiban. Malam itu juga, Ny. Neneng bisa kembali berjalan seperti sedia kala. Dokter mendiagnosa, sumber sakitnya ada pada sendi facet di ruas tulang belakang. Sendi facet merupakan persendian kecil di belakang cakram tulang belakang, yang menghubungkan antarruas tulang belakang, membantu / mendukung tulang belakang dan memungkinkannya untuk bergerak.
Sendi facet rentan cidera, aus atau robek. Trauma seperti cidera whiplash (sentakan tiba-tiba di leher), memutar sambil mengangkat kepala, atau rotasi tidak sengaja di tulang belakang dapat mengiritasi sendi facet. Hal itu menyebabkan kerusakan, peradangan dan / atau distorsi sendi. Aus atau robeknya sendi dapat menyebabkan hilangnya tulang rawan dan degenerasi cakram tulang belakang. Cakram yang juga adalah bantalan tulang akan runtuh, menyebabkan rasa sakit di daerah itu.
Kondisi tulang belakang Ny. Neneng untungnya karena baru satu bulan – masih tergolong akut – dan nyeri hebat yang dirasakan tergolong ‘ringan’. Cakram tidak sampai runtuh, hanya terjadi peradangan.
“Malam itu juga saya dianjurkan untuk operasi. Saya telepon anak-anak, minta pertimbangan. Mereka bilang, pokoknya mama harus sembuh bagaimana pun caranya,” ucap Neneng. Operasi berlangsung sekitar 40 menit, dan Ny. Neneng dalam keadaan sadar karena hanya dibius lokal.
Usai operasi, ia langsung bisa berjalan. “Anak-anak kaget dan senang. Seperti nggak percaya. Kayak mimpi. Senangnya nggak bisa dilukiskan. Saya terima kasih kepada dokter, karena serkarang saya bisa jalan lagi,” papar Neneng dengan mata berkaca-kaca.Kini, ia sudah bisa kembali memasak dan antar jemput cucu ke sekolah.
Radio frequency ablation (RFA)
Dr. Mahdian Nur Nasution, spesialis bedah saraf yang menangani Ny. Neneng menjelaskan, sendi facet Ny. Neneng mengalami inflamasi dan menimbulkan rasa nyeri. Pada kondisi seperti itu, “Tindakan fisioterapi justru akan menambah rasa sakit." Nyeri sendi facet bila sudah kronis, bisa terjadi perlengketan.
Ny. Neneng mendapat terapi radiofrekuensi atau radio frequency ablation (RFA). Yakni tindakan pemanasan / pembakaran saraf yang meradang di daerah sendi facet, menggunakan frekuensi radio. RFA dimasukkan melalui jarum ke dalam sendi facet, dengan bimbingan x-ray. Setelah jarum berada di tempat yang disasar, arus frekuensi radio dikirim ke setiap sendi facet dan saraf selama 90 detik, untuk memanaskan dan “membakar” saraf yang mengirimkan sinyal rasa sakit. Jika sumber radang sudah hilang, maka rasa sakit akan berkurang atau hilang.
“Kalau nyeri sendinya masih akut atau belum terlalu lama, terapi ini bisa memberi kesembuhan permanen; seperti terjadi pada ibu Neneng. Kalau sakitnya sudah kronis (sakit sudah terjadi >3 bulan), perlu beberapa kali tindakan. Tetapi pada tindakan pertama, rasa nyeri pasien bisa berkurang sampai 50 persen,” jelas dr. Mahdian.
Selain karena faktor usia (penuaan), postur tubuh yang salah dan kegemukan bisa memicu nyeri pinggang. Namun, ada beberapa penyebab lain yang sering tidak teridentifikasi. Misalnya gangguan sendi, bantalan tulang (discus), sendi panggul, dan saraf terjepit.
"Penyebabnya bermacam-macam tapi keluhannya bisa sama, yaitu nyeri pada pinggang bawah. Pasien perlu mendapat diagnosas yang tepat, sehingga tindakan yang diambil tepat, dan pasien dapat memperoleh kesembuhan," katanya.
Dokter biasanya dapat mengetahui atau mendiagnosa penyakit dari pola nyeri yang dialami pasiena dan dari pemeriksaan fisik. Meski begitu, kadang diperlukan pemeriksaan penunjang berupa foto rontgen atau USG. Biasanya, karena tidak tahu, oranhg awam langsung mengidentikkan nyeri di tulang belakang sebagai gejala saraf terjepit (hernia nucleus pulposus / HNP), yang penanganannya adalah dengan operasi.
Akibatnya, pasien dan keluarganya takut melakukan pengobatan dan memilih menerima nasib. Padahal, menurut dr. Mahdian, pada nyeri pinggang yang disebabkan hal lain dapat dilakukan tanpa operasi. Bisa dengan menggunakan obat-obatan atau teknik intervention pain management (IPM), salah-satunya RFA. Tergantung penyakitnya.
Bayangkan kalau Ny. Neneng memutuskan untuk menyerah. Saat ini nyerinya hampir pasti sudah makin parah dan ia semakin tak terpisahkandari kursi rodanya. Jadi, kata dr. Mahdian, “Kalau nyeri punggung, jangan takut berobat.” (jie)