Lebih dari 250 juta jiwa. Ini perkiraan jumlah penduduk Indonesia berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2015. Angka ini diperkirakan akan terus naik, menjadi 305,6 juta jiwa pada 2035. Proyeksi ini berdasarkan laju pertumbuhan penduduk, yang ditentukan oleh tingkat kelahiran dan kematian. Laju pertumbuhan penduduk tampak terus turun, dari 1,38% per tahun pada 2010, menjadi 0,62% per tahun pada 2035.
Namun berdasarkan SDKI (Survvei Demografi dan Kesehatan Indonesia) 2007, angka kelahiran rata-rata selama 2007-2012 tidak berubah; tetap berkisar 2,6. Bila angka ini tetap stagnan hingga 20 tahun kemudian, penduduk Indonesia pada 2035 akan melebihi proyeksi BPS. “Laju pertumbuhan penduduk mengkhawatirkan,” ungkap Kepala BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional) dr. Surya Chandra Surapaty.
Di Indonesia, masih lazim ditemukan keluarga dengan anak lebih dari dua, bahkan lebih dari 5. Padahal, memiliki (hanya) dua anak dengan kehamilan yang direncanakan, berdampak baik bagi kesehatan dan kesejahteraan keluarga. “Menggunakan kontrasepsi bukan berarti tidak boleh punya anak, tapi menciptakan generasi yang berkualitas,” tegas dr. Surya.
Kontrasepsi bisa menjadi cara merencanakan kehidupan keluarga yang lebih baik. “Diharapkan, dua anak cukup,” ujar Menteri Koordinasi Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Indonesia (Menko PMK) Puan Maharani. Penggunaan kontrasepsi juga dapat menurunkan angka kematian ibu dan bayi baru lahir.
Penggunaan kontrasepsi modern selama 15 tahun terakhir tidak berkembang. Berdasar survei, 98% pasangan usia subur tahu tentang program KB, tapi hanya 57% yang mengikuti. Angka putus pakai kontrasepsi pun cukup tinggi (21,7%). Sebabnya beragam: tidak cocok, lupa, atau malas datang ke pusat pelayanan KB. “Hal ini membuat bonus demografi bertambah tanpa rencana,” papar Puan. Bonus demografi adalah kondisi di mana jumlah angkatan kerja (usia produktif) lebih tinggi dibanding usia tidak produktif.
Kaum ibu memiliki peranan penting dalam kesejahteraan keluarga. Sosialisasi kontrasepsi yang dibarengi dengan pemberdayaan perempuan akan meningkatkan produktivitas ibu, sehingga tidak hanya berdiam di rumah. “Ibu rumah tangga yang tidak bekerja cenderung memiliki banyak anak. Sementara itu, ibu yang memiliki pekerjaan sampingan, rata-rata hanya memiliki dua anak,” papar Menko PMK Puan.
Hal ini terlihat dari beberapa kota yang dikunjungi, di mana sebagian perempuan bekerja di sektor kreatif seperti UMKM (usaha mikro, kecil dan menengah). Hebatnya, meski memiliki kegiatan lain, mereka tidak meninggalkan tugas sebagai ibu dan istri. “Justru mereka memiliki pilihan untuk (hanya) memiliki sedikit anak, karena sudah disibukkan dengan pekerjaan,” ujar Puan.
Di Kota Ponorogo, Jawa Timur, misalnya, banyak ibu yang bekerja untuk mendukung perekonomian keluarga, tanpa meninggalkan tanggungjawab mereka sebagai ibu rumah tangga. Terbukti, kota ini memiliki angka kesehatan ibu dan anak yang cukup baik.
Pilihan Kontrasepsi
Informasi mengenai berbagai pilihan metode kontrasepsi, bisa diakses secara luas. Namun demikian, tiap pasangan perlu berkonsultasi mengenai pemilihan kontrasepsi yang cocok, sesuai dengan kondisi kesehatan dan kebutuhan. Pil kontrasepsi, misalnya, bisa digunakan oleh pasangan muda yang ingin menunda kehamilan untuk beberapa waktu. Karena hanya bersifat sementara, kesuburan akan segera kembali begitu konsumsi pil dihentikan.
Perempuan yang baru melahirkan dan tidak mau ‘kecolongan’, bisa menggunakan IUD. Karena tidak mengandung hormon, metode ini tidak akan mengganggu produksi ASI, dan bisa dipasang segera setelah ibu melahirkan. Tak perlu kuatir. Begitu IUD dilepas, kehamilan bisa kembali terjadi.
Pasangan yang sudah cukup memiliki anak, bisa memikirkan metode operasi (vasektomi atau tubektomi). Pilihan ini perlu dipikirkan matang-matang karena bersifat permanen.
Yang pasti, tiap orang berhak mendapat untuk informasi yang benar, sehingga dapat mengambil keputusan yang tepat dalam memenuhi hak-hak reproduksinya, serta memiliki akses terhadap kontrasepsi yang aman dan berkualitas. (nid)