Emboli Cairan Ketuban yang Mematikan | OTC Digest
emboli_cairan_ketuban

Emboli Cairan Ketuban yang Mengancam Nyawa

Tanpa udara, tidak ada kehidupan. Siapa sangka, udara ternyata juga bisa mematikan—dengan cara ‘sederhana’ dan dalam jumlah yang sangat kecil. Kita sempat dihebohkan dengan kasus meninggalnya seorang ibu ketika melahirkan, Julia Fransiska Makatey (alm). Setelah diteliti, ternyata penyebabnya terdengar ‘sepele’: emboli (sumbatan) udara di bilik kanan jantung. Ini tak ubahnya suntikan berisi udara untuk membunuh, yang kerap kita lihat di film.

Dijelaskan oleh dr. Yudianto Budi Saroyo, Sp.OG(K), pakar fetomaterna dari FK Universitas Indonesia/RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta, emboli adalah sumbatan, yang terjadi akibat masuknya benda asing ke sirkulasi darah. “Benda asing bisa berupa udara, cairan, bekuan darah. Dalam kasus persalinan, bisa pula air ketuban bahkan verniks (lapisan lemak putih) pada kulit janin,” tuturnya.

Begitu masuk ker sirkulasi darah, benda asing tersebut bisa hinggap di mana saja. “Bila masuk ke jantung akan menyebabkan gagal sirkulasi, bila ke paru terjadi gagal nafas, dan koma bila menyumbat otak,” ujar dr. Yudianto.

Cairan ketuban yang mengandung material bayi (verniks, rambut, dan lain-lain) juga bisa merangsang terjadinya syok anafilaksis (reaksi alergi berat) yang bisa menyebabkan kematian akibat obstruksi saluran nafas dan henti jantung.

Bisa pula memicu DIC (disseminated intravascular coagulation), bekuan darah tidak normal yang terjadi di dalam pembuluh darah di seluruh tubuh. Hal ini menghabiskan protein koagulasi (pembekuan darah) dan platelet (keping darah yang berperan dalam proses pembekuan darah), sehingga proses koagulasi yang normal terganggu, dan terjadilah perdarahan pasca persalinan.

 

Tidak bisa diprediksi/dicegah

Sindrom emboli cairan ketuban bisa terjadi selama atau sesaat setelah persalinan. Kasus ini pertama kali dilaporkan tahun 1926. Tahun 1941 menjadi kian dikenal dengan munculnya 8 kasus ibu meninggal sesaat setelah melahirkan. Melalui otopsi, ditemukan sumbatan pada pembuluh darah paru para perempuan tersebut.

“Meski relatif jarang, akibat yang ditimbulkannya fatal, bahkan di negara maju sekalipun,” ujar dr. Yudianto. Emboli air ketuban adalah penyebab kematian nomor tiga di Perancis (13%); di Singapura, >30% kematian maternal langsung disebabkan oleh kondisi ini. Selama tahun 2000-2002 di Inggris, emboli air ketuban menyebabkan 60 kematian, dengan 8% kematian langsung. Di Amerika Serikat (AS) dan Australia, sindrom ini bertanggungjawab terhadap 7,5-19% kematian maternal.

Data berbasis publikasi menunjukkan, insiden emboli cairan ketuban berkisar 1-12/100.000 kelahiran. Angkanya di tiap negara pun cukup bervariasi. Sebagai perbandingan, di AS 70% kasus terjadi saat persalinan, vs 72% di Inggris; 11% terjadi setelah persalinan normal (per vagina) vs 14% di Inggris, dan 19% pada operasi Caesar vs 14% di Inggris.

Rasanya sulit kita bayangkan, bagaimana cairan ketuban beserta bagian dari janin yang ukurannya besar, bisa masuk ke pembuluh darah. Ini terjadi akibat proses persalinan, yang menyebabkan pembuluh darah terbuka. Analoginya, rahim seperti sebuah ruang, yang di dalamnya terdapat janin dan cairan ketuban yang dibungkus oleh kantung amnion. Plasenta menghubungkan rahim dengan bayi melalui tali pusat; lewat plasentalah bayi mendapat nutrisi dari ibu, dan membuang zat-zat sisa kembali ke tubuh ibu. “Pada plasenta, terdapat banyak “steker” yang menempel pada dinding rahim. Saat bayi lahir, “steker” ini lepas; ketika pembuluh darah terbuka inilah emboli masuk,” papar dr. Yudianto.

Karenanya, emboli terjadi saat persalinen ketika sebagian plasenta mulai lepas, atau sesaat setelah persalinan (<30 menit) ketika plasenta sudah lepas semua. “Paling lama, 48 jam setelah persalinan karena setelah itu, rahim sudah berkontraksi sehingga lubang (akibat pembuluh darah yang terbuka) terjepit dan menutup,” terangnya.

Yang menarik, emboli cairan ketuban tidak berhubungan dengan status nutsisi ibu, meski faktanya, ibu yang kurang nutrisi berisiko mengalami perdarahan akibat kontraksi rahim yang kurang baik. Dengan kata lain pembuluh darah terbuka lebih lama, dan kita mungkin berpikir, kemungkinannya mengalami emboli lebih besar.  “Masalahnya kita tidak pernah tahu kapan emboli masuk, dan tidak bisa pula dicegah. Makanya kita sebut unpredictable, unpreventable,” tandas dr. Yudianto. Juga tidak diketahui, mengapa insiden emboli lebih banyak terjadi pada persalinan Caesar ketimbang persalinan normal.

Selain persalinan Caesar, faktor risiko lainnya cukup banyak. Di antaranya persalinan cepat, usia ibu yang lebih tua, persalinan dengan alat bantu (vakum, forsep), plasenta previa (plasenta berada di bagian bawah rahim), eklamsia dan induksi persalinan.

 

Lebih baik melahirkan di RS

Denyut jantung bayi melemah/turun secara tiba-tiba (gawat janin), adalah salah satu tanda utama dari emboli cairan ketuban. Sebuah ulasan dari beberapa penelitian menyebutkan, 100%  dari 64 pasien yang mengalami emboli mengalami hal tersebut dan hipotensi (turunnya tekanan darah). Tanda dan gejala lain meliputi pembengkakan paru (93%), henti jantung sehingga harus ditolong dengan CPR (cardiopulmonary rescucitaion) atau resusitasi jantung paru (87%), dan kegagalan sistem pembekuan darah (87%). Kejang, nyeri kepala dan nyeri dada tidak lebih dari 50%.

Apakah ibu yang mengalami emboli saat persalinan bisa ditolong? “Bisa. Yang penting, resusitasi dulu. Bahwa kemudian tertolong atau tidak, yang penting kita lakukan upaya penyelamatan dulu,” tegas dr. Yudianto. Angka keberhasilan life saving pun berbeda di tiap negara, meski sama-sama di negara maju.

Tidak ada penanganan spesifik karena sangat bergantung pada kondisi tiap RS, baik dari segi teknologi maupun tenaga profesionalnya. Namun sebenarnya setiap RS telah memiliki panduan pelayanan medis untuk menghadapi hal tersebut. Bagaimanapun, lebih disarankan untuk bersalin di RS ketimbang di rumah karena RS memiliki fasilitas untuk kondisi gawat, sehingga pasien bisa segera mendapat pertolongan.

Tidak bisa diprediksi dan tidak bisa dicegah, yang bisa kita lakukan hanya meminimalkan faktor risiko hingga sekecil mungkin. “Rencanakanlah kehamilan dengan baik. Atur jarak antar kelahiran minimal 2 tahun,” tutupnya. (nid)