Anggapan bahwa vaksin MMR (campak, gondongan, rubella) menyebabkan autisme, bermula dari studi “bapak gerakan anti-vaksin” dr. Andrew Wakefield pada 1998. Sudah hampir 20 tahun berlalu, tapi masih banyak orangtua yang khawatir. Padahal, berbagai penelitian ilmiah membuktikan bahwa vaksin MMR tidak menyebabkan autisme. “Tidak ada hubungan antara vaksin MMR dengan autisme,” tegas Dr. dr. Iris Rengganis, Sp.PD-KAI dari FKUI/RSCM, Jakarta.
Dr. Wakefield adalah mantan dokter spesialis saluran cerna di Inggris. Studinya yang dimuat di jurnal ilmiah The Lancet menyatakan bahwa vaksin MMR berpotensi menimbulkan gangguan perilaku dan kelainan perkembangan pervasif, yang mencakup autisme dan sindrom Asperger.
Orangtua di seluruh dunia ketakutan sehingga banyak yang memilih untuk tidak memvaksin anak mereka. Akibatnya, campak kembali melanda . Ditengarai, meledaknya kasus campak di Inggris pada 2008 dan 2009 serta merebaknya campak di Amerika Serikat sejak 2014, terjadi akibat anak-anak tidak divaksin.
Penelitian Wakefield terbukti ‘cacat’. Sampelnya sangat minim (12 anak), rancangan studinya tidak terkontrol, dan kesimpulannya bersifat spekulatif. Wakefield juga dinyatakan bersalah karena melakukan penyelidikan invasif pada anak-anak tanpa izin etik. Studi Wakefield dianggap sebagai salah satu penipuan paling serius dalam sejarah dunia kedokteran, dan sudah dicabut dari The Lancet.
Campak, gondongan dan rubella jangan dianggap sepele. “Komplikasi akibat campak antara lain gangguan saluran napas dan kejang demam,” tutur Dr. dr. Iris. Pada gondongan, komplikasinya bisa radang otak (ensefalitis), radang selaput otak (mengingitis) dan kemandulan pada anak laki-laki bila infeksi mengenai buah zakar. Rubella umumnya ringan, tapi bila anak perempuan tidak divaksin, ia bisa terinfeksi saat hamil. Virus bisa masuk melalui plasenta, menginfeksi bayi, dan bayi bisa lahir dengan cacat bawaan.
Dr. dr. Iris menegaskan, semua anak perlu divaksinasi MMR. Vaksin diberikan saat anak berusia 15 bulan (MMR 1), dan di usia 5-6 tahun (MMR 2). Booster (penguat) diberikan saat dewasa, setelah usia 19 tahun. “Bila saat dewasa tidak divaksin lagi, bisa kena penyakit meski sudah mendapat vaksin saat kecil,” papar Dr. dr. Iris.
Booster utamanya penting bagi perempuan, terutama yang sedang hendak menikah atau hamil. “Sebaiknya, booster diberikan sebelum menikah sehingga bila menikah dan langsung hamil, sudah ada perlindungan,” ujar Dr. dr. Iris. Bila sudah menikah tapi belum vaksin, sebaiknya segera lakukan vaksinasi, dan, “Jangan dulu hamil; beri jarak dari vaksinasi ke kehamilan minimal 3 bulan.” (nid)