Mata adalah jendela dunia. Apa jadinya jika seorang bayi dilahirkan dengan gangguan penglihatan, atau kebutaan dialami oleh anak-anak. Kebutaan pada masa anak-anak memberi beban yang lebih besar daripada kebutaan pada orang dewasa.
Salah satu penyebab kebutaan adalah kerusakan kornea. Penyebab umumnya adalah karena kecelakaan, atau inveksi, misalnya akibat pemakaian lensa kontak yang tidak baik.
“Pada anak-anak bisa disebabkan oleh kelainan bawaan (kongenital). Infeksi rubella dimasa kehamilan bisa membuat bayi dilahirkan dengan kornea buram,” papar dr. Sharita R. Siregar, SpM, Ketua Lions Eye Bank Jakarta.
Sayangnya kerusakan kornea tidak bisa sembuh dengan sendirinya, satu-satunya tindakan pertolongan adalah melakukan cangkok (transplantasi) kornea dari donor yang sudah meninggal.
“Dulu transplantasi kornea harus menunggu usia anak sampai 5 tahun, tapi sekarang bisa dilakukan kapan saja, bahkan pada bayi, selama kornea donornya siap,” tambah dr. Sharita.
Transplantasi kornea anak, haruslah bersumber dari kornea donor anak-anak pula. Pasalnya kornea anak jauh lebih tipis dibanding orang dewasa. Proses pencangkokannya pun memiliki kerentanan yang lebih tinggi dibanding pada dewasa.
“Karena korneanya tipis, saat dilepas lebih gampang menggulung. Setelah operasi pun masih ada penyulit, seperti kepatuhan memakai obat tetes, atau menjaga agar anak / bayi tidak mengucek mata.
“Namun secara umum operasi transplantasi kornea adalah tindakan cangkok yang tingkat keberhasilannya paling tinggi. Risiko penolakan oleh tubuhpun minimal,” tegas dr. Tjahjono D. Gondhowiardjo, SpM(K), PhD, Ketua Bank Mata Indonesia.
Setelah transplantasi, biasanya anak/bayi bisa melihat dengan lebih terang, walau ketajamannya belum optimal. Membutuhkan terapi tambahan, berupa terapi mata malas (amblyopia) untuk mengembalikan fungsi penglihatan.
“Menggunakan teknik baru (lamellar keratoplasty), obat tetes (berisi antiperadangan dan mencegah penolakan organ) hanya perlu dipakai 3-6 bulan, dibandingkan 1 tahun jika memakai teknik yang lama (penetrating keratoplasty),” kata dr. Sharita.
Siapa yang boleh menjadi pendonor?
Semua orang bisa menjadi donor kornea, mulai bayi sampai orangtua yang berkacamata atau telah melakukan operasi katarak.
Sebaliknya yang tidak boleh menjadi donor, adalah mereka di saat meninggal korneanya rusak, meninggal akibat infeksi berat (sepsis), atau memiliki penyakit menular (HIV, hepatitis, sifilis).
“Sebaiknya kornea pendonor diambil kurang dari 6 jam. Setelah meninggal tutup kelopak matanya, kemudian berikan es di atasnya untuk memperlambat kerusakan, dan panggil petugas.
“Di laboratorium dokter akan memeriksa darah dan banyaknya sel endotel di kornea donor. Kornea donor mampu bertahan dalam penyimpanan di pendingin khusus sampai 2 minggu,” papar dr. Sharita.
Sayangnya donor kornea di Indonesia masih langka. Tercatat angka kebutaan di Indonesia mencapai 3% (sejajar dengan negara-negara miskin di Afrika). Di mana 4,5% dari jumlah tersebut adalah kebutaan kornea.
Baca juga : Kornea Donor, Atasi Kebutaan Kornea
Bank Mata Indonesia mencatat baru sekitar 5-10% pasien kebutaan yang dapat menjalani transplantasi kornea dari dalam negeri; selama ini sumber donor berasal dari Srilanka, Philipina, Nepal, Belanda dan Amerika Serikat.
“Yang perlu dipahami adalah, donor kornea tidak menggambil seluruh bola mata, tapi hanya lapisan korneanya,” tegas dr. Tjahjono. “Satu orang pendonor bisa membatu penglihatan 4 orang lainnya.”
Memakai teknik lamellar keratoplasty, kornea dapat dipisahkan menjadi lapisan-lapisan yang lebih tipis, dan diberikan sesuai kebutuhan.
Dengan mendonorkan kornea, orang tersebut telah mengembalikan kehidupan orang lain, terutama anak-anak. (jie)