Protein susu sapi merupakan penyebab alergi tersering pada berbagai reaksi hipersensitivitas anak. Bagaimana mengatasinya?
Protein susu sapi berupa kasein dan whey. Kasein merupakan bagian susu yang berbentuk kental, porsinya antara 76-86% dari total protein susu. Whey jumlahnya hanya 20% dan masih dipecah menjadi β-lactoglobulin, α-lactalbumin, bovine immunoglobulin dan lainnya. Proses pasteurisasi (pemanasan) yang bermaksud untuk membunuh kuman, justru meningkatkan sifat alergenitas beberapa protein seperti β-lactoglobulin dan α-lactalbumin.
Penelitian menunjukkan β-lactoglobulin adalah alergen paling kuat pada manusia, sementara kasein penyebab alergi terbanyak. Dan, IgE spesifik (immunoglobulin E; antibodi yang spesifik menargetkan protein susu sapi) pada kasein, didapatkan 100% pada kelompok penderita alergi susu sapi. Sementara IgE dari β-lactoglobulin sekitar 13% dan IgE dari α-lactalbumin sekitar 6%.
Gejala alergi yang ditimbulkan, kerap tidak spesifik sehingga sering dianggap penyakit lain seperti flu atau muntaber. Gejalanya seperti gumoh, kembung, cegukan, sering buang angin. Bayi juga rewel dan gelisah terutama malam hari.
Buang air besar bisa >3 kali/hari atau tidak BAB (buang air besar) tiap hari, kadang disertai darah. Bisa juga feses cair, berwarna hijau, kadang feses berbentuk kecil-kecil seperti kotoran kambing dan berbau tajam.
Reaksi alergi yang menyerang sistem pernapasan, ditunjukkan dengan napas berbunyi grok-grok atau ngik, kadang disertai batuk terutama malam dan pagi hari. Bila mengenai mata, menyebabkan kedua mata berair dan belekan.
Perilaku yang menyertai bayi dengan alergi susu sapi, misalnya gangguan neuro anamotis. Yakni tangan dan kaki mudah bergetar, dan saat menangis napas berhenti beberapa detik yang kadang disertai bibir biru dan tangan kaku. Kadang, mata juling dan kejang.
Selain itu, gerakan motoriknya berlebihan. Tangan kaki terus bergerak-gerak sehingga tidak bisa diselimuti atau dibedong. Kepala sering digerakkan secara kaku ke belakang, sehingga posisi bayi melengkung. Karena gelisah dan mengalami gangguan tidur, secara tidak langsung alergi susu sapi berisiko menggangu tumbuh kembang bayi.
Tatalaksana alergi susu sapi
Penanganan alergi susu sapi dimulai dengan mencatat makanan harian bayi, termasuk yang dimakan ibu, yang mungkin dapat menyebabkan alergi. Bisa dilakukan tes alergi atau pemeriksaan darah, untuk melihat kadar IgE spesifiknya.
Menurut Dr. dr. Zakiudin Munasir, SpA(K)., ahli imunologi dari RSCM, perlu juga dilakukan metode eliminasi dan provokasi makanan. Yakni dengan menghindari makanan yang dicurigai memicu alergi selama 1-2 minggu, sambil mengonsumsi obat anti-alergi.
“Setelah bersih dari gejalanya, dicoba lagi, timbul atau tidak. Kali ini tanpa obat anti-alergi, agar ketahuan makanan mana yang menjadi pemicu,” katanya.
Bila bayi sudah mengonsumsi makanan pendamping ASI (MPASI), perlu diteliti makanan mana yang menyebabkan alergi. Bila MPASI sudah diberikan selama 1-2 minggu dan sebelumnya tidak terdapat gangguan, berarti penyebab alergi pada ASI – yang berasal dari makanan ibu.
Setelah diketahui penyebabnya, ibu dan bayi harus menghindari mengonsumsi makanan tersebut. “Selain si kecil ibu juga jangan minum susu sapi,” katanya. Juga, hindari semua produk makanan yang mengandung susu sapi, seperti kue, keju dan es krim.
Beberapa anak ada yang tidak cocok dengan susu formula karena komposisi dan kandungan tertentu dalam susu formula. Penambahan zat seperti AA, DHA, minyak jagung, minyak kedelai atau aroma rasa (coklat, madu dan strawberi), berpotensi menyebabkan alergi.
Tetap beri ASI
Pada bayi dengan ASI ekslusif tetapi alergi susu sapi, pemberian ASI perlu dilanjutkan namun hindari protein susu sapi dan produk turunannya. Ada pun bayi yang tidak minum ASI sehingga harus minum susu formula, menurut Prof. dr. Lee Bee Wah, ahli alergi anak dari National University Hospital, Singapura, susu formula yang dikonsumsi pelu diganti dengan susu hipoalergenik. Yakni susu sapi formula yang partikel molekul proteinnya sudah dipecah, sehingga dapat dicerna oleh bayi.
“Susu hipoalergenik parsial diberikan hanya untuk mencegah alergi. Bagi anak yang sudah mengalami alergi susu sapi, gunakan susu hipoalergenik ekstensif, yang pemecahan molekul proteinnya lebih kecil dibanding susu hipoalergenik parsial,” ujar Prof. Lee.
Sayangnya, susu hipoalergenik parsial atau ekstensif harganya tidak murah, karena proses pembuatannya. Rasanya juga tidak seenak susu sapi. Para ahli lebih menyarankan susu soya (kedelai).
Susu formula soya sebaiknya diberikan pada bayi di atas 6 bulan. Di banyak negara, seperti Singapura dan Australia, kata Prof. Lee, “Susu soya justru menjadi pilihan pertama untuk mengatasi alergi susu sapi, sebelum memberikan susu hipoalergenik.”
Mencegah alergi susu sapi
Ada anggapan, dengan menghindari susu sapi, telur, kacang tanah dan seafood pada masa hamil, dapat mencegah anak menjadi alergi. “Melalui penelitian berturut-turut selama 5 tahun, hal itu tidak terbukti,” ujar dr. Zaki. “Hal itu justru bisa mengganggu pertumbuhan janin. Yang tidak boleh adalah, sejak bayi lahir tidak boleh terpapar asap rokok.”
Kembali, untuk mencegah terjadinya alergi susu sapi, bayi sebaiknya minum ASI eksklusif. Setelah menyusui, ibu perlu berpatang? “Selama bayi tidak alergi, tidak perlu pantang minum susu sapi,” papar dr. Zaki. (jie)