Cegah Kebutaan Pada Anak Prematur | OTC Digest

Cegah Kebutaan Pada Anak Prematur

Berbagai kondisi medis berisiko dialami bayi lahir prematur, salah satunya adalah gangguan penglihatan. Terapi mata di awal kehidupannya dapat menyelamatkan si kecil dari kebutaan. Deteksi dini penting.

Pada tahun 2010 lalu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menerbitkan laporan berjudul Born Too Soon, The Global Action Report on Preterm Birth, yang menempatkan Indonesia sebagai negara ke 5 dengan bayi lahir prematur terbanyak. Bayi yang lahir kurang bulan (< 34 bulan) atau berat lahir < 1500 g berisiko mengalami gangguan mata yang disebut retinopati prematuritas (ROP).

ROP menjadi penyebab kebutaan utama pada anak-anak, di mana 60% dapat dicegah (melihat normal) bila terdeteksi dini dan ditangani. Prevalensi ROP diperkirakan 0,4 per 1000 kelahiran di Indonesia. “Walau angkanya kecil, tapi beban kebutaan pada anak-anak lebih besar dibanding dewasa,” kata Prof. dr. Rita Sita Sitorus, Sp.M(K), Guru Besar Departemen Ilmu Kesehatan Mata Universitas Indonesia.

Pada anak prematur, tambah Prof. Rita, pembuluh darah retina berhenti berkembang sebelum sampai ke retina; bayi lebih dulu lahir sebelum pembuluh darah retina komplit. Kemudian mengembangkan pembuluh darah baru yang abnormal; dapat menyebabkan perlukaan atau lepasnya retina. ROP pada derajat ringan dapat membaik dengan sendirinya, tapi bisa juga menjadi serius dan mengakibatkan kebutaan.  

“Bayi prematur biasanya mendapat perawatan NICU, skrining ROP harus dilakukan sesegera mungkin setelah kondisi bayi stabil, paling tidak sebelum bayi pulang. Perawatan ROP sudah harus dilakukan sebelum usia anak 42 minggu. Jika lebih dari itu hampir tidak ada manfaatnya,” tegasnya dalam sosialisasi program Seeing is Believing (SiB) oleh Standard Chartered Bank dalam peringatan Hari Penglihatan Sedunia 2017, 27 Oktober lalu.

ROP kerap kali tidak menunjukkan gejala. Jika dilihat dengan mata telanjang, mata penderita ROP tampak normal, namun sejatinya proses kerusakan berjalan terus. Ada / tidaknya gejala yang dilihat orangtua, anak tetap harus di skrining ROP. Selain itu, skrining juga perlu bagi anak prematur dengan kondisi medis tertentu, seperti mengalami transfusi darah berulang, sesak napas dan mengalami sepsis.

“Orangtua biasanya membawa anaknya ke dokter dengan keluhan anak tidak merespon saat dikasih benda di depannya. Pada kondisi ini jika retinanya sudah lepas, sulit untuk dikoreksi,” tegas Prof. Rita. “Lebih penting pencegahan daripada pengobatan.”

Terapi ROP dilakukan berdasarkan beratnya penyakit (stadium 1-5), meliputi observasi dan pemeriksaan berkala, terapi sinar laser, suntikan anti-VEGF (vascular endothelial growth factor) untuk menghentikan pembentukan pembuluh darah baru abnormal. Terakhir, dengan bedah.

“Stadium 3 masih bisa laser, belum perlu operasi. Mulai stadium 4 sudah operasi. Stadium 5 harapan normal lagi jelek, retina sudah lepas,” tutur Prof. Rita. 

Kebutaan karena ROP sangat mungkin dicegah lewat skrining. Setelah 42 hari setelah dilakukan skrining dan tidak ditemukan gejala, anak tidak berpotensi mengalami ROP. (jie)