Diabetes menjadi penyakit pandemik yang mengkawatirkan di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Data International Diabetes Federation (IDF) tahun 2017 menyatakan 80% penyandang diabetes berusia 20-64 tahun.
“Sekitar 10 juta orang dewasa di Indonesia menderita diabetes, di mana sebagian besar (80%) tidak menunjukkan gejala klasik,” terang Dr. dr. Rr. Dyah Purnamasari S, SpPD-KEMD, dari Departemen Medik Penyakit Dalam, FKUI-RSCM.
Gejala klasik diabetes seperti, banyak kencing, sering haus, lapar terus, dan berat badan turun. Sementara gejala tidak klasik – yang adalah bentuk komplikasi diabetes – antara lain luka sulit sembuh, kesemutan tanpa sebab, gangguan penglihatan, hingga gangguan ereksi.
Secara khusus dalam serangkaian penelitian diketahui anak dari penyandang diabetes lebih berisiko menjadi gemuk – walau kegemukan juga adalah salah satu faktor risiko penyebab diabetes- dibanding anak dari orangtua non diabetes.
Riset di Makasar (2018) pada 128 orang berusia 16-24 tahun membuktikan, anak kandung penyandang diabetes berisiko memiliki obesitas sentral (buncit) 19X lebih banyak dan mengalami gangguan hormon insulin 10 X lebih banyak, dibanding subyek dengan orangtua non diabetes.
Dr. Dyah menyatakan, anak kandung penyandang diabetes secara genetik memiliki gangguan respirasi (pernapasan) di mitokondria, ‘dapur’ pengolahan energi di sel. Terjadi masalah dalam penyimpanan energi, membuat lemak di setiap sel otot lebih banyak.
“Artinya anak kandung penyandang diabetes harus berusaha lebih keras untuk menjaga berat badannya, olahraganya harus lebih oke, supaya risikonya tidak lebih tinggi,” terang dr. Dyah dalam seminar Masalah Obesitas dan Diabetes, yang diadakan gedung IMERI FKUI, Salemba, Jakarta, pada Rabu (10/4/2019).
Studi lain di Jakarta (2018) menyatakan, anak laki-laki penderita diabetes 5X lebih berisiko mengalami hiperkolesterol, dibanding anak dari non penderita diabetes. Riset yang oleh dr. Dyah, dkk., tersebut dilakukan pada 120 orang berusia 19-39 tahun.
“Diketahui pula satu dari dua anak kandung penyandang diabetes, walau kadar gula dan tekanan darahnya normal, sudah terdapat plak di pembuluh darah leher.Dinding pembuluh darah juga diketahui lebih tebal, dibanding anak dari orangtua non diabetes,” terang dr. Dyah.
Kondisi tersebut berkaitan dengan meningkatnya risiko komplikasi diabetes seperti serangan jantung koroner dan stroke.
Obesitas sentral lebih berbahaya
Secara umum, cadangan energi dalam bentuk lemak disimpan dalam dua tempat: di bawah kulit (subkutan), dan di bawah perut /organ sekitar perut (lemak visceral); disebut obesitas sentral.
Obesitas sentral yang terjadi pada anak penyandang diabetes mengatarkannya pada kondisi perlemakan hati. “Bahkan pada anak yang belum gemuk pun sudah memiliki perlemakan hati,”tukas dr. Dyah.
Lemak visceral (obesitas sentral) lebih berbahaya dibanding lemak di bawah kulit. Karena, tutur dr. Dyah, lemak di area jeroan tersebut lebih tidak sensitif pada insulin. Lemak tersebut lebih gampang mengeluarkan hormon-hormon yang mempengaruhi peradangan dalam tubuh.
Dari berbagai penelitian tersebut disimpulkan, anak kandung penderita diabetes lebih berisiko mengalami obesitas, obesitas sentral, gangguan hormon insulin dan leptin (hormon yang mengontrol rasa lapar).
Sedari awal, dr. Dyah menegaskan, anak dari penderita diabetes tidak boleh gemuk. Gemuk bahkan obesitas bukan sebatas masalah estetika, tetapi sudah dikategorikan sebagai penyakit. (jie)