Malam pergantian tahun kerap dirayakan dengan makan-makan. Boleh, tapi jangan lupakan serat ya. Pola makan sehat tidak sekadar soal kalori, tapi juga serat, yang merupakan makanan bagi bakteri bermanfaat di usus. Jumlah serat yang kita asup bisa memengaruhi penambahan berat badan (BB), kadar gula darah, sensitivitas insulin, dan kesehatan kolon. Dua studi pada tikus yang dipublikasi di jurnal Cell Host & Microbe memantu mengungkapkan bagaimana dan mengapa serat begitu kuat pengaruhnya terhadap kesehatan seluruh tubuh.
Gado-gado, lalapan, daun singkong rebus, buah potong, tempe hingga biji selasih adalah sumber serat yang biasa kita makan sehari-hari. Namun tak bisa dipungkiri kita makin terbiasa dengan pola makan Barat yang (sayangnya) minim serat, tapi tinggi lemak dan gula. Ini telah dihubungkan dengan risiko penyakit radang usus, peningkatan BB dan diabetes.
“Makin jelas bahwa rerata asupan serat di negara Barat telah menurun drastis dalam beberapa dekade terakhir,” ujar Fredrik Bäckhed, penulis pendamping senior dalam salah satu studi yang disebutkan di atas. Dia mempelajari peranan mikroba usus normal dalam penyakit metabolik di Universitas Gothenburg, Swedia. Hal serupa juga terjadi di Indonesia. Makin marak bermunculan gerai restoran cepat saji, yang di akhir pekan selalu dipenuhi pengunjung; baik anak, remaja, dewasa hingga kakek nenek. Sedangkan kebiasaan orang Barat makan salad, tidak kita adaptasi.
Dalam kedua studi, sekelompok tikus diberi makan makanan yang sangat rendah serat. Pola makan ini dengan cepat menyebabkan peningkatan BB, gula darah tinggi, dan resistensi insulin pada tikus. Studi yang dilakukan Bäckhed bersama timnya menemukan bahwa tikus mengalami masalah dengan lapisan mukus (lendir) pelindung di kolon (usus besar) setelah 3-7 hari menjalani pola makan rendah serat. Lapisan lendir ini jadi lebih mudah ditembus (penetrasi) dan bakteri mulai menggerogoti sel-sel epitel kolon.
Studi lainnya yang dilakukan oleh Andrew Gewirtx (Universitas Negeri Georgia, Amerika Serikat) bersama timnya menemukan bahwa kolon tikus yang menjalani pola makan rendah serat, ketebalannya menyusut secara signifikan. Sejumlah besar bakteri usus pun mati, dan terjadi ketidakseimbangan bakteri usus.
Kedua studi ini menunjukkan penting lapisan dalam lendir dalam membatasi bakteri dan manusia pejamunya. Juga menggambarkan betapa dinamis dan cepatnya lapisan lendir tersebut merespon terhadap perubahan pola makan dan bakteri. Kesimpulannya, kurang makan serat menyebabkan bakteri memasuki lapisan lendir, dan bakteri tersebut memicu peradangan derajat rendah, yang berkontribusi terhadap sindrom metabolik.
Setelah periode rendah serat selesai, kedua tim riset mencoba pendekatan pengobatan yang berbeda. Bäckhed dan koleganya menemukan bahwa menanamkan bakteri usus dari tikus yang sehat bisa memperbaiki kerusakan pada lapisan lendir di kolon. Suplementasi Bifidobacteria (jenis bakteri bermanfaat) kepada tikus membantu pertumbuhan lendir kolon, tapi tidak membantu dalam hal penetrasi. Sedangkan suplementasi inulin (sejenis serat pangan) mengurangi masalah penetrasi, tapi tidak membantu pertumbuhan lendir kolon.
Adapun Gewirtz dan koleganya menggangi pola makan tikus dengan diet yang mengandung 20% inulin. Mereka menemukan bahwa hal tersebut bisa membalikkan beberapa aspek dalam sindrom metabolik seperti penurunan BB dan kontrol gula darah yang lebih baik, tapi tidak dalam hal lain misalnya kadar trigliserida.
Serat inulin juga membantu memperbaiki massa kolon, meningkatkan jumlah sel absorpsi usus (enterosit), serta memperbaiki jumlah dan keragaman bakteri usus. Namun, suplemen serat tidak bisa sepenuhnya mengembalikan bakteri usus tikus ke keragaman aslinya setelah pola makan rendah serat. Ini bisa berarti bahwa menggunakan suplemen sebagai pengobatan bisa menyebabkan komplikasi bila seseorang tidak memiliki campuran bakteri usus yang sehat.
Menurut Gunnar C. Hansson, salah satu peneliti di tim Bäckhed, kurang asupan serat mengubah komposisi dan metabolisme bakteri, yang menyebabkan kerusakan pada lapisan lendir dalam dan memungkinkan bakteri mendekat masuk. Ini memicu peradangan dan akhirnya penyakit metabolik. “Tidak cukup hanya menambahkan serat ke dalam pola makan; juga tergantung dari bakteri di usus Anda,” ujarnya.
Diperlukan penelitian lebih banyak sebelum suplemen serat bisa digunakan sebagai pengobatan. Menambahkan serat yang dimurnikan ke dalam makanan olahan mungkin bermanfaat. “Namun kami belum siap menyarankannya hingga kami memahami lebih banyak lagi soal interaksi yang sangat kompleks antara makanan, bakteri dan pejamu,” ujar Gerwitz, yang diamini oleh Bäckhed dan Hansson.
Sebelum terlambat, yuk mulai memperbanyak sumber serat sejak sekarang. Di pesta Tahun Baru misalnya, sisipkan cemilan seperti kedelai rebus, buah potong, sate sayur, granola bar buatan sendiri, atau sekadar smoothie buah asli di antara hidangan lezat lainnya. (nid)