Obesitas di usia produktif tidak bisa dianggap enteng karena dampaknya cukup luas dan mengkhawatirkan. Pada perempuan, antara lain infertilitas (ketidaksuburan), diabetes saat hamil, hipertensi saat hamil, serta pre/eklamsia (keracunan kehamilan). Diabetes saat hamil memunculkan risiko lain. Bayi bisa lahir prematur, atau bayi terlalu besar (>4 kg). (Baca juga: Penting, Menghindari Diabetes saat Hamil)
Obesitas berhubungan erat dengan gula darah tinggi (hiperglikemia) dan/atau diabetes tipe 2 (DM2). Ini bisa memicu infertilitas, karena resistensi insulin bisa mengganggu keseimbangan hormon. “Akibatnya proses pematangan sel telur terganggu,” terang dr. Dyah Purnamasari, Sp.PD dari FK Universitas Indonesia, Jakarta. Ini yang disebut sindrom ovarium polikistik atau PCOS (polycysctic ovary syndrome). Pada sindrom ini, sel-sel telur berkembang tapi tidak sampai matang sehingga bila diperiksa melalui USG, akan terlihat ovarium (indung telur) berbenjol-benjol seperti ada untaian mutiara.
Gejala PCOS mencakup siklus haid tidak teratur, lingkar perut besar, jerawat, dan pertumbuhan rambut yang menyerupai pria seperti kumis. PCOS biasanya diobati dengan pil kontrasepsi agar hormone kembali seimbang. “Bila diberikan obat yang membantu kerja insulin, umumnya siklus haid kembali normal,” ujar dr. Dyah.
Tentu, berat badan (BB) pun perlu diperbaiki; obat hanya bantuan sementara. Begitu bobot tubuh berkurang, siklus haid bisa normal dengan sendirinya dan kesuburan ikut membaik. Menjaga BB normal juga sangat penting untuk mempersiapkan kehamilan, untuk menghindari segala risiko yang mungkin bisa terjadi saat hamil nanti. “Obesitas bukan hanya soal penampilan, tapi masalah kesehatan,” tegasnya. (nid)