Cara Sehat Konsumsi Gorengan Saat Berbuka | OTC Digest

Cara Sehat Konsumsi Gorengan Saat Berbuka

Puasa datang, lebaran menjelang. Terasa lengkap bila disertai minuman manis dan makanan gorengan. Masalahnya, makanan yang digoreng memiliki kandungan lemak jenuh yang kurang baik bagi kesehatan.

Lemak pada dasarnya dibutuhkan tubuh sebagai sumber energi dan pelarut vitamin A, D, E dan K. Digolongkan menjadi lemak bebas (trans fatty acid / TFA), lemak jenuh (saturated fatty acid / SAFA) dan asam lemak tidak jenuh yang dibagi menjadi lagi asam lemak tak jenuh tunggal (mono unsaturated fatty acid / MUFA) dan jamak (polly unsaturated fatty acid / PUFA).

SAFA dan TFA masuk kategori lemak yang kurang sehat. Jika dikonsumsi berlebihan akan menaikkan kadar lemak dan kolesterol dalam darah. Kondisi ini erat kaitannya dengan peningkatan risiko penyakit jantung, stroke dan hipertensi.

Tiap jenis lemak mestinya dikonsumsi secara seimbangan. Yang terjadi, berdasar penelitian dr. Ratna Djuwita Hatma, MPH, dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, pada etnis Jawa, Sunda, Minangkabau dan Bugis, dari sekitar 30% konsumsi lemak/hari, lebih dari 50% adalah lemak jenuh.

“Sumber lemak jenuh yang paling banyak dikonsumsi berasal dari minyak kelapa,” katanya. “Komposisi yang baik: 10% lemak jenuh dan 20% lemak tidak jenuh, terbagi dari 6-10% PUFA dan 10% MUFA.”

Menurut penelitian, minyak kelapa mengandung komposisi MUFA 6%, PUFA 2% dan SAFA 92%. Ada pun minyak bekatul (rice brand oil) mengandung MUFA 47%, PUFA 33% dan SAFA 20%. Itu sebabnya minyak ini dianggap minyak goreng sehat.

Salah satu parameter minyak goreng sehat yakni ketika molekul-molekulnya tidak rusak selama proses penggorengan, terutama deep frying. Tiap minyak goreng memiliki titik asap, yakni batas maksimum minyak goreng tidak rusak ketika dipanaskan; suhu di wajan saat menggoreng bisa mencapai 220°C.

Minyak goreng yang tinggi lemak tak jenuh, jika dipanaskan melampaui titik asapnya akan berubah menjadi lemak jenuh. Akan terbentuk zat racun bernama acrolein, karena pecahnya trigleserida dalam lemak jenuh akibat suhu tinggi. Zat ini dapat mengiritasi saluran pernafasan.

Penelitian menunjukkan titik asap minyak bekatul termasuk tinggi yakni 254°C, dibanding minyak goreng lain. Minyak kelapa hanya 175°C dan olive oil 210°C.

Penelitian oleh Department of Pharmacology and Therapeutics, Seth GS Medical College dan KEM Hospital, Mumbai, menunjukkan minyak bekatul dapat menurunkan kadar kolesterol dalam darah.

Penelitian diujikan pada 73 orang berkolesterol tinggi. Mereka diberi makanan olahan menggunakan campuran rice brand oil (80%)  dan 20% safflower oil dan diamati selama 3 bulan. Pada akhir penelitian, 82% responden kadar kolesterol “jahat”-nya turun sampai di bawah 150 mg%.

American Heart Association (AHA) telah merekomendasikan minyak bekatul sebagai minyak goreng yang komposisi lemaknya paling mendekati seimbang. (jie)