varian omicron diduga berasal dari pasien hiv aids
omicron diduga berasal dari pasien hiv di afrika selatan

Varian Omicron Diduga Muncul Dari Pasien HIV Di Afrika Selatan

Beberapa kasus infeksi jangka panjang COVID-19 terjadi pada mereka dengan gangguan imunitas menyebabkan munculnya mutasi yang bisa menghindari sistem imun, seperti varian Omicron ini.

Sebelumnya, telah terlihat bahwa infeksi jangka panjang memungkinkan virus COVID-19 bereplikasi dalam durasi yang lebih lama, berbarengan dengan gangguan imunitas memicu munculnya mutasi/varian yang kurang rentan terhadap antibodi.

Gampangnya, mutasi adalah “kesalahan” kecil dari kode genetik virus yang terjadi saat ia menggandakan diri. Kadang perubahan kode genetik ini akan merubah protein virus yang berpengaruh meningkatkan salah satu fungsinya, seperti penularannya atau tingkat keparahan penyakitnya.

Infeksi berkepanjangan, kerena absennya sistem imun yang sehat, mampu menciptakan lingkungan yang sesuai untuk terjadinya mutasi, hingga tercipta varian baru.

Mereka dengan gangguan imunitas misalnya adalah pengidap HIV/AIDS, penderita kanker yang sedang dalam masa pengobatan, atau mereka yang menerima transplantasi organ.   

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung, Kementerian Kesehatan, dr. Siti Nadia Tarmizi mengungkapkan, berdasarkan keterangan yang disampaikan WHO, varian Omicron banyak ditemukan pada orang-orang dengan HIV di Afrika Selatan.

Seperti diketahui, sebagian besar penduduk di Afrika Selatan memiliki HIV-AIDS. Selain itu, capaian vaksinasi di wilayah tersebut pun masih rendah, yakni baru 24% dari jumlah populasi.

"Kita tahu dari briefing yang disampaikan oleh WHO, kemungkinan besar varian (Omicron) ini muncul dikarenakan kita tahu Afrika Selatan itu sebagian besar adalah orang dengan HIV," ujar Nadia dalam media briefing bertema Peringatan Hari AIDS Sedunia 2021 pada Senin, (29/11/2021).

Di Afrika Selatan, varian Omicron banyak ditemukan pada kategori usia 18 hingga 34 tahun. Kelompok usia yang merupakan kelompok dengan tingkat vaksinasi paling rendah di sana.

Bukan kasus yang pertama

Riset yang diterbitkan di jurnal Nature (Februari 2021), misalnya, memaparkan data dari satu pasien dengan gangguan imunitas yang meninggal setelah 102 hari positif COVID-19.

Dengan mengurutkan sampel yang diambil pada 23 hari yang berbeda selama rentang 102 hari, tim dari University of Cambridge, Inggris, menunjukkan bahwa mutasi yang lebih mudah menyebar / lolos dari antibodi dapat muncul pada pasien dengan gangguan kekebalan yang tetap positif COVID-19 untuk waktu lama.

Pada kasus ini, pasien berusia 70 tahun lebih yang sedang menjalani kemoterapi untuk kanker limfoma. Peneliti mengatakan baik pengobatan kemoterapi atau kanker tersebut berkontribusi pada penurunan imunitas (sel B dan T).

Sebelumnya dalam laporan di The New England Journal of Medicine (NEJM) peneliti menggambarkan satu kasus COVID-19 pada pasien dengan gangguan imunitas yang mendapat pengobatan antikoagulan (pengencer darah), steroid dan antivirus.

Dalam 125 hari infeksi COVID-19, tim peneliti mengidentifikasi 12 mutasi di protein paku virus corona, beberapa di antaranya berhubungan dengan kemampuan menghindari antibodi.

Para peneliti di beberapa institusi di AS mencatat adanya kebutuhan untuk mengidentifikasi apakah bentuk-bentuk imunosupresi tertentu dikaitkan dengan peningkatan risiko terjadinya mutasi virus corona.

“Demikian pula, penerima transplantasi organ dan mereka dengan infeksi HIV (human immunodeficiency virus) yang tidak diobati atau tidak terkontrol baik mungkin juga memiliki infeksi SARS-COV-2 yang berkepanjangan, dan dapat menjadi media perkembangbiakan varian yang bisa menghindari sistem imun, dan bisa menyebar di masyarakat umum,” tulis peneliti. (jie)