Ramdhani Jatmika Hemofilia
Ramdhani Jatmika Hemofilia

Ramdhani Jatmika

Darah tiba-tiba bisa mengalir tanpa henti. Suatu saat, tiba-tiba kaki membengkak sehingga tak bisa berjalan. Hemofilia membuat keluarga ini selalu bersyukur.

 

Gusi berdarah itu biasa terjadi saat kita gosok gigi. Namun yang dialami M. Ramdhani Jatmika lain. Ketika berusia 2 tahun,  gusi Rama – demikian ia biasa dipanggil - tiba-tiba berdarah. Darah terus mengalir, sampai berceceran ke mana-mana. Sang ayah membawa anaknya ke Rumah Sakit Dr. Sardjito, Yogyakarta. Selama 3 hari 3 malam, perdarahan Rama belum juga berhenti. Beruntung, ada 9 orang dewasa yang sama-sama berdarah golongan B yang mendonorkan darahnya.

Namun, memasukkan jarum untuk transfusi darah ternyata tidak gampang. Karena masih bayi, pembuluh venanya belum tampak. “Waktu itu, kebetulan istri saya sedang tugas ke Mekah sebagai dokter haji. Saya panik dan sedih, tapi tak berdaya melihat anak kesakitan,” papar  DR. Sidik Jatmika, MSi, dosen Ilmu Hubungan Internasional di FISIP, Universitas  Muhammadiyah, Yogyakarta, yang juga penulis buku.

Rama, yang kini berusia 16 tahun, adalah penyandang hemofilia atau sindrom darah sulit membeku. Saat ditemui ia baru bermain dengan adik perempuannya, bercanda, tertawa lepas. Tak tampak dari roman mukanya bahwa dia mengidap penyakit yang memerlukan pengobatan seumur hidup. “Kadang saya main bola, lho,” katanya.

Rama diketahui menderita hemofilia sejak lahir. Kelahirannya, bertepatan dengan perayaan setengah abad Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarya. Hal ini membuat kelahirannya dipercepat, karena dokter yang menangani harus menghadiri acara tersebut. “Baru setengah jam masuk kamar bersalin, Rama sudah lahir. Kontraksinya dipercepat dan disedot, agar segera keluar. Waktu lahir, beratnya normal 3 kg,” ujar Sidik (46 tahun).

Memasuki hari ketiga, si bayi menangis tak henti-hentinya dan badannya memar kebiruan. Pikiran pertama yang muncul ialah, memar di tubuhnya akibat disedot saat dilahirkan. Rama dimasukkan ke dalam inkubator dan diambil sampel darahnya. Dari sana ketahuan bahwa si kecil mengidap hemofilia. Tampaknya karena faktor gen, pamannya dari pihak ibu, juga menderita hemofilia. Sekitar 16 tahun yang lalu, belum banyak informasi tentang hemofilia. Sang ibu, dr. Eny Iskawati, belum paham betul apa itu hemofilia.

 “Yang kasihan kalau kambuhnya malam hari. Di rumah sakit, dokternya pun belum tentu bisa menangani. Jadi semalaman, selama 10 -12 jam dia menangis kesakitan,” kenang  Sidik.

Beruntung, setelah setengah tahun menggunakan terapi transfusi darah, obat konsentrat faktor VIII  (antihemofili) masuk ke Yogyakarta. Dengan menyuntikkan obat itu, perdarahan dapat dihentikan. Namun, walau sang ibu seorang dokter, ia tidak mampu menyuntik anaknya sendiri. Tidak tega. Terpaksa meminta perawat untuk membantunya.

Dengan pertambahan usia, Rama mulai bisa niteni (memperhatikan) saat penyakitnya akan kambuh. “Kalau capek sedikit habis lari-lari, walau tidak sampai keluar darah, biasanya kakinya bengkak hingga tidak bisa jalan. Dia dibawa ke rumah perawat itu, untuk disuntik,” papar sang ayah.

Bersyukur saat bayi, Rama tumbuh seperti anak normal. Tanpa melalui fase merangkak, dia sudah belajar berjalan. “Pada waktu itu, kami tidak mikir kalau biasanya bisa berjalan dan tiba-tiba tidak bisa jalan, itu karena hematom (penggumpalan darah). Kami kira masuk angin, jadi cuma dikasih balsem,” ujar Sidik yang pernah menjadi  penyiar Radio BBC London Seksi Indonesia.

Menginjak usia 2 – 8 tahun, dinilai ayah bundanya sebagai masa yang penuh perjuangan. Setidaknya, 2 bulan sekali ia bolak-balik ke rumah sakit. “Setelah umurnya 9 tahun, serangan mulai berkurang. Mungkin karena disuntik rutin dan dia sudah bisa menjaga diri,” ujar penulis Urip Mung Mampir Ngguyu dan sejumlah buku ini. “Anak hemofilia, kalau kambuh dan bengkak, dia tidak bisa berjalan.”  

 

Pendidikan adalah utama                                                   

Tawa dan Airmata

Bagaimana pun keadaan Rama, pendidikan tetap menjadi prioritas. Sejak awal, orangtua sudah menginformasikan kondisi Rama kepada pihak sekolah, meminta kelonggaran jika Rama banyak absen, terutama untuk mata pelajaran olahraga.

“Sekolah sangat memahami kondisi anak saya. Sebulan dia bisa absen 4 kali. Kalau sudah begitu, saya akan minta tugas dari sekolah untuk dikerjakan di rumah, agar Rama tidak ketinggalan pelajaran. Bisa dikatakan, saya menerapkan separuh home schooling,” kata Sidik.

Kadang saat ulangan atau ujian semester, sementara Rama sedang kambuh, dia terpaksa ujian di mobil. “Saya sms gurunya, kira-kira ulangan jam berapa, nanti mobil saya bawa masuk ke halaman sekolah dan Rama mengerjakan soal di mobil,” ujarnya.  

Kedua orangtua memahami bahwa dunia anak adalah dunia bermain. Maka, Rama dibolehkan bermain apa saja, asal hati-hati. Namanya bocah, “kecelakaan” kerap tak terhindarkan. Pihak sekolah akan segera menghubungi sang ayah. Kondisi darurat itu bisa terjadi kapan saja. Sidik akan segera meluncur menemui Rama. Kondisi ini pula yang membuat Sidik menolak mendampingi mahasiswanya ke luar negeri. 

Ia berpendapat, orangtua mesti membahagiakan anaknya. Tertawa dan bahagia adalah hak anak. “Kalau kita melarang dia untuk berkegiatan, berarti kita merampas haknya sebagai anak. Kami beri Rama keleluasaan mau sepak bola atau naik sepeda, tapi harus hati-hati. Itu saja,” imbuhnya.

Sidik menganggap semua ini sebagai amanah. Dia bersyukur mendapat titipan anak yang hemofilia, yang perkembangan intelektualnya sama dengan anak normal.. “Kita harus punya pandangan positif dan selalu bersyukur. Hidup adalah ayat-ayat Tuhan. Kita diuji. Kita diberi kesempatan berpahala lebih banyak dibanding orang lain. Hidup adalah seni merangkai cucuran air mata menjadi derai tawa,” ujar Sidik. (jie)