dampak pandemi merubah organ tubuh dari rambut hingga kaki
dampak pandemi merubah organ tubuh dari rambut hingga kaki

Pandemi Mengubah Organ-Organ Tubuh Ini, dari Kaki Sampai Rambut

Baik penyintas COVID-19 atau bukan, tampaknya pandemi berdampak pada banyak organ tubuh. Banyak orang mengaku mengalami perubahan, bisa rambut lebih mudah rontok sampai kaki yang menjadi lebih lebar.

“Seseorang bisa menderita akibat long COVID tetapi tidak mengetahuinya kerena mereka tidak memiliki pengetahuan untuk mengidentifikasi sendiri,” terang Fidaa Shaib, spesialis paru di Baylor College of Medicine, AS, dilansir dari Science Alert.

Gejala long COVID belum bisa dipastikan apakah disebabkan langsung oleh virus corona, atau terpicu oleh stres dan trauma terkait infeksi SARS-CoV-2. Sindroma (kumpulan gejala) long COVID tersebut dapat mempengaruhi hampir setiap organ dalam tubuh.

Tetapi pada mereka yang tidak tertular virus corona pun merasakan beberapa masalah kesehatan selama pandemi. Beberapa perubahan yang dirasakan antara lain:

Rambut rontok

Berdasarkan laporan di Inggris, 79% dokter spesialis kulit, melaporkan kasus rambut rontok pasca COVID-19. Ini seperti studi di China yang mendokumentasikan kejadian rambut rontok di antara 22% penyintas enam bulan setelah keluar dari rumah sakit.

Para ahli mempercayai kenaikan suhu tubuh dan hilangnya nafsu makan yang dialami pasien memicu rontok rambut. Demikian pula stres dan kecemasan selama perawatan. Pengalaman lockdown dan perubahan gaya hidup selama pandemi, turut mengganggu kebiasaan perawatan rambut.

Mata kering

Pandemi menyebabkan sebagian besar orang bekerja di rumah, ini berarti menatap layar laptop atau komputer selama berjam-jam.

Melansir the Guardian, muncul banyak laporan mata kering yang menyebabkan penglihatan kabur dan perih, bahkan juga peningkatan kasus rabun jauh akibat peningkatan waktu menatap layar gawai (screen time).

Selama tahun 2020, para peneliti di Hong Kong mendeteksi peningkatan pesat kasus rabun jauh di antara 709 anak-anak usia enam hingga delapan tahun. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, kasus rabun jauh naik hingga 10%. Riset ini diterbitkan di British Journal of Ophthalmology.

Tetapi para ahli menekankan tidak ada bukti bila layar gawailah yang menyebabkan masalah ini, lebih pada perilaku menatap layar secara terus-menerus dalam waktu lama, terlalu dekat atau kurangnya pencahayaan.  

Disarankan untuk lebih sering mengedipkan mata saat menatap layar dan sejenak istirahatkan mata dengan melihat obyek-obyek jarak jauh. Atau, lakukan aturan 20-20-20 (istirahat 20 detik setiap menatap layar gawai 20 menit dengan memandang benda setidaknya berjarak 20 kaki [6 meter]).

Sakit gigi

Selama satu tahun terakhir banyak klinik gigi yang tutup, baik dokter atau pasien takut untuk melakukan pemeriksaan. Ini membuat banyaknya masalah gigi yang muncul sebagai efek samping pandemi.

Para ahli mendapati ada peningkatan kebiasaan menggertakkan gigi (bruxism). The American Dental Association menemukan 71% dari sekitar 2.300 dokter gigi di AS melaporkan peningkatan pasien bruxism selama pandemi.

Kebiasaan menggertakkan gigi (seperti sedang mengunyah makanan) ini bisa membuat gigi sensitif. Atau, timbul gangguan di temporomandibular joint (sendi di yang menghubungkan rahang bawah dengan tengkorak) karena tekanan yang berlebihan.

Penyakit jantung

Sonya Babu-Narayan, associate medical director di British Heart Foundation menjelaskan ada peningkatan kasus penyakit jantung kronis selama pandemi.

Beberapa orang mengalami kesulitan untuk berolahraga atau tidak tahu diet yang benar, sementara untuk mengakses pertolongan medis juga sulit – terutama saat kasus COVID-19 sedang naik.

“Setiap keterlambatan (penanganan) menyebabkan efek bola salju, yang pada akhirnya membahayakan nyawa. Pembatalan prosedur terapi atau melewatkan waktu kontrol berkontribusi pada ribuan kematian akibat serangan jantung dan stroke selama pandemi,” kata Narayan, melansir The Guardian.  

Gangguan pencernaan

Dr. Philip Smith, seorang gastroenterologis di Royal Liverpool Hospital, Inggris, mencatat kekambuhan sindrom iritasi usus (irritable bowel syndrome/ IBS) yang semakin sering.

Ia mengatakan bila otak dan saluran cerna berhubungan sangat erat – disebut gut brain axis – dan gangguan pencernaan seperti IBS berhubungan dengan kecemasan dan stres.

Pandemi juga menyebabkan semakin sedikit orang yang ke dokter karena keluhan kembung atau diare, dan mereka baru terdiagnosa saat gejalanya menjadi parah.

Kulit

Radang kulit seperti rosacea, eksim dan psoriasis menjadi semakin parah selama pandemi, stres memicu kekambuhan.

Kebiasaan baru – yang harusnya menyehatkan – yakni cuci tangan juga memicu radang kulit. Kulit menjadi lebih kering dan pecah-pecah. Bakteri rentan untuk menyusup di sela-sela pecahan kulit, menyebabkan peradangan.

Kaki

Beberapa orang melaporkan kaki mereka menjadi lebih lebar sehingga sepatu tidak lagi muat. Para ahli memperkirakan ini disebabkan oleh efek samping work from home, yakni tidak memakai sepatu selama di rumah, kaki menjadi tidak memiliki sepatu pendukung seperti biasanya.

Dr. Emma McConnachie, ahli kaki di The Royal College of Podiatry, Inggris, mengatakan ini menyebabkan kesakitan di area tungkai, pergelangan dan mata kaki. “Sebagian besar keluhan ini disebabkan oleh perubahan aktivitas fisik, seperti memulai kebiasaan baru, misalnya lari,” katanya. (jie)