Mengukur Kebutuhan Dosis Vitamin D untuk tubuh

Mengukur Kebutuhan Dosis Vitamin D

Sejak pandemi COVID-19, Vitamin D menjadi primadona untuk meningkatkan dan memelihara imunitas tubuh. Kini dengan mudah kita temukan suplemen dengan dosis vitamin D tinggi. Barulah kita tersadar betapa penting vitamin D bagi tubuh. “Reseptor vitamin D ada di hampir seluruh tubuh kita. Itu artinya, tiap organ tubuh membutuhkannya,” ungkap Prof. Dr. dr. Iris Rengganis, Sp.PD-KAI, FINASIM, Guru Besar Tetap FKUI bidang Alergi dan Imunologi.

Dulu, kita mengenal manfaat vitamin D sebatas untuk metabolisme kalsium, kesehatan dan pertumbuhan tulang, serta pencegahan penyakit Ricket. Ternyata, manfaatnya jauh lebih luas lagi. Mulai dari mendukung metabolisme seluler, menurunkan risiko penyakit autoimun dan keparahannya, hingga mengurangi risiko kanker.

Di masa pandemi dan era normal baru, tentu saja yang terpenting adalah manfaat vitamin D untuk imunitas. “Vitamin D berperan penting dalam sistem imun, baik bawaan (innate) maupun adaptif. Juga meregulasi sitokin pro/antiinflamasi,” terang Prof. Iris. Terlebih, studi menemukan korelasi yang kuat antara rendahnya kadar vitamin D dengan peningkatan risiko dan keparahan penyakit pada saluran napas, termasuk asma.

Sumber Vitamin D

Kita sudah paham betul, tubuh akan memproduksi tubuh ketika kulit terpapar sinar matahari. Tinggal di negara tropis, seharusnya kita tak perlu khawatir kekurangan vitamin D, karena setiap hari kita mendapat sinar matahari yang berlimpah, sepanjang tahun. Namun ironisnya, rata-rata kadar vitamin D orang Indonesia <20 ng/ml. Padahal idealnya, kadar vitamin D >50 ng/ml. Kurang dari 30 ng/ml disebut insufisiensi, dan bila <20 mg/dl disebut defisiensi.

“Lebih dari 94% anak Indonesia tidak memiliki kadar vitamin D yang cukup,” ujar Prof. Iris. Kondisi ini tidak jauh berbeda pada kelopok usia lain. Sekitar 63% perempuan usia 18-40 tahun, 61,25% ibu hamil, dan 78% orang lanjut usia (lansia) juga mengalaminya.

Penyebabnya beragam. Menghabiskan waktu di dalam ruangan sejak pagi hingga sore/malam, jarang menghabiskan waktu di luar ruang, penggunaan tabir surya yang berlebihan, hingga pakaian yang menutup seluruh tubuh, turut berkontribusi terhadap rendahnya kadar vitamin D. Usia, obesitas, penyakit kronis, dan genetik juga berpengaruh.

Selain dari sinar matahari, vitamin D juga bisa didapat dari makanan. Misalnya ikan, produk susu, kuning telur, daging, hati, dan jamur. “Namun, makanan hanya menyumbang 20% kebutuhan vitamin D. Untuk mencukupinya dari makanan, maka banyak sekali yang harus dimakan,” imbuh Prof. Iris. Ia melanjutkan, bila asupan vitamin D tidak cukup dari sinar matahari dan makanan, maka dibutuhkan suplementasi.

Dosis Vitamin D

Pertanyaan selanjutnya, seberapa besar dosis vitamin D yang perlu kita asup dari suplemen? Kebutuhan ini berbeda-beda pada tiap kelompok usia, serta kondisi dan kesehatan.

Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) pada 2018, dosis harian anak yang dianjurkan yaitu 400 IU. “Pada anak yang tidak mendapat cukup sinar matahari, dosisnya ditingkatkan jadi 800 – 1.000 IU. Sedangkan untuk meningkatkan kadar vitamin D menjadi sufisien atau 30 ng/mLm dibutuhkan dosis 1.000 IU setiap hari,” terang Prof. Iris. Untuk anak 0-1 tahun, dosis maksimal suplemen vitamin D yaitu 2.000 IU/hari.

Untuk anak usia 1-18 tahun, dosis maintenance therapy yaitu 600 – 1.000 IU/hari. Untuk meningkatkan kadar vitamin D hingga mencapai sufisien, dibutuhkan dosis 2.000 IU/hari selama minimal 6 minggu, dan dosis maksimal 4.000 IU/hari.

“Adapun untuk dewasa, BPOM menerapkan dosis vitamin D harian sebesar 1.000 – 4.000 IU/hari. Untuk terapi dan meningkatkan kadar vitamin D hingga sufisien, dosisnya minimal 5.000 IU/hari,” papar Prof. Iris. Dosis maksimal harian yaitu 10.000 IU. Sejak pandemi, BPOM menetapkan dosis vitamin D 1.000 – 4.000 IU masuk kategori suplemen. Artinya, bisa dibeli bebas tanpa resep. Dosis 5.000 IU ke atas barulah dikategorikan sebagai obat, sehingga perlu resep dari dokter.

Idealnya, periksakan dulu kadar vitamin D dalam darah sebelum mengonsumsi suplemen vitamin D. “Namun kalau tidak ingin ribet, bisa langsung mengonsumsi vitamin D sampai 4.000 IU/hari,” ujar Prof. Iris.

Inovasi Suplemen Vitamin D

Suplemen vitamin D yang paling luas digunakan yaitu vitamin D3 karena paling stabil, aman, dan efektif meningkatkan kadar vitamin D tubuh. Untuk itu, perlu lebih cermat dalam memilih suplemen vitamin D.

Tak hanya jenis vitamin D yang perlu diperhatikan, tapi juga teknologi yang digunakan dalam pembuatannya. “Suplemen vitamin D3 Hi-D produksi Imedco diolah dengan teknologi canggih cold water-soluble technology. Vitamin D jadi mudah diserap oleh tubuh hanya dengan air saja, tidak perlu dibarengi dengan konsumsi lemak,” jelas Apt. Dian Pratiwi, S.Farm, Product Manager PT Imedco Djaja.

Ia melanjutkan, Hi-D merupakan suplemen vitamin D3 yang teregistrasi sebagai obat, sehingga dibuat dengan standar obat, yang standarnya lebih tinggi dan ketat daripada suplemen. Menariknya, Hi-D sebagai suplemen, tersedia dalam 3 dosis: Hi-D 1000, Hi-D 2000, dan Hi-D 4000. Untuk kategori obat, juga ada Hi-D 5000. “Dengan demikian dosisnya sangat fleksibel, bisa dikonsumsi sesuai kebutuhan,” lanjut Tiwi, begitu ia biasa disapa.

Berbentuk tablet kunyah dengan rasa yang enak (choco vanilla/vanilla), Hi-D nyaman dikonsumsi karena seperti mengunyah permen. Apalagi produk tersebut halal, bebas gluten, dan tidak ada risiko nyeri lambung saat mengonsumsinya.

Untuk anak-anak, tersedia Kid-D, dengan dosis vitamin D 400 IU/ml. “Kid-D sudah dilengkapi dengan pipet 1 ml, sehingga tidak perlu khawatir dosisnya kurang atau kelebihan,” imbuh Tiwi. Memiliki rasa stroberi yang enak, anak-anak pasti menyukainya. (nid)

__________________________________________________________________

Ilustrasi: Take medicine photo created by LipikStockMedia - www.freepik.com