Diabetic Macular Edema dan Bagaimana Diabetes Bisa Menyebabkan Komplikasi Kebutaan | OTC Digest
diabetic_macular_edema_komplikasi_diabetes_yang_sebabkan_kebutaan

Diabetic Macular Edema dan Bagaimana Diabetes Bisa Menyebabkan Komplikasi Kebutaan

Diabetes melitus dapat menyebabkan kebutaan. Retinopati diabetika (RD) dan diabetic macular edema (DME) menjadi dua komplikasi mata tersering yang dialami pasien diabetes yang berujung pada kebutaan.  

Pada pasien diabetes menahun, perubahan kadar gula darah dari waktu ke waktu dapat menyebab kerusakan pembuluh darah mikro di retina. Riset menyatakan sepertiga penderita diabetes > 5 tahun akan mengalami komplikasi retinopati.

Data dari program skrining retinopati diabetika Klinik Endokrin RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta mendapati dari 2302 penderita diabetes, 24,5% mengalami komplikasi retinopati diabetika (RD). Dari penderita RD, 9,45%-nya berkembang menjadi diabetic macular edema.

Gula darah tinggi yang berlangsung tahunan menyebabkan kerusakan endotel (sel pelindung dinding pembuluh darah). Ini akan mengakibatkan pembuluh darah mikro di retina kekurangan oksigen (iskemia).

Sebagai upaya memenuhi suplai oksigen di retina, terjadi proses pembuatan pembuluh darah baru. Ditandai dengan peningkatan produksi vascular endothelial growth factor A (VEGF-A).

VEGF-A merangsang pembentukan pembuluh darah baru. Namun, di satu sisi justru menganggu sawar darah retina. Terjadilah kebocoran cairan di area makula (bagian dalam retina yang disebut juga sebagai bintik kuning).

Kebocoran ini yang akan menyebabkan pembengkakan makula, gangguan fungsi sel-sel penerima cahaya, dan akhirnya berujung pada kebutaan.

Makula adalah bagian peka cahaya di retina yang bertanggungjawab pada tajam penglihatan. Gejala diabeteic macular edema mulai dari penglihatan kurang fokus, buram, sampai muncul titik-titik hitam (skotoma) dalam ruang pandang. Garis lurus terlihat bengkok.

“Tanpa pengobatan, dalam 2 tahun penderita DME bisa kehilangan 2 baris penglihatan,” ujar dr. Rumita S. Kadarisman, Sp.M (K), dari Departemen Ilmu Kesehatan Mata FKUI.

Gejala tersebut akan dialami saat terjadi penebalan makula atau ada eksudat keras pada radius area 500 µm di tengah retina. Eksudat adalah cairan dan sel yang keluar dari pembuluh darah kapiler dan masuk ke dalam jaringan saat teradi peradangan.

Pengobatan DME

Dr. Elvioza, Sp.M, Kepala Divisi Vitreo Retina FKUI-RSCM Kirana menjelaskan, prinsip pengobatan DME adalah memperbaiki atau stabilisasi fungsi penglihatan.

Sejak tahun 1980 sampai 2000-an, photocoagulation (laser) menjadi terapi standar DME. Early Treatment Diabetic Retinopathy Study (ETDRS) tahun 1985 membuktikan laser menurunkan risiko kebutaan sampai 50% dalam 3 tahun.

“Laser mematikan daerah yang tidak berguna. Diharapkan kebutuhan oksigen akan berkurang dan menyelamatkan bagian makula. Terapi ini efektif mempertahankan penglihatan, tapi tidak memperbaiki penglihatan,” ujar dr. Elvioza.

Cara lain adalah menggunakan obat-obatan steroid. Tahun 2000-an ditemukan pengobatan steroid yang tanpa merusak sel-sel photoreceptors.  Walau efektif menurunkan inflamasi, injeksi steroid berisiko meningkatkan kejadian katarak sekunder dan kejadian glaukoma. Pemakaian steroid mulai ditinggalkan. 

Sebagai terapi pengganti, digunakan obat anti-VEGF untuk menghambat angiogenesis, proses pembentukan pembuluh darah baru.

Terdapat 3 jenis obat anti-VEGF: Bevacizumab, Ranibizumab dan Aflibercept. Bevacizumab awalnya dipakai dalam pengobatan kanker usus dan digunakan secara ‘off-label ‘pada pengobatan mata, termasuk DME.

Renabizumab merupakan pengobatan dengan rekayasa genetik, di mana potongan monoklonal antibodi akan mengikat VEGF-A. 

Yang terbaru adalah Aflibercept. “Ini  merupakan penggabungan protein yang serupa dengan reseptor VEGF-A dan PIGF (placenta growth factor). Sehingga akan menangkap VEGF yang beredar dalam mata,” papar dr. Elvioza.

“Dengan berkurangnya kadar VEGF, maka pembentukan pembuluh darah baru akan dihambat. Sekaligus mengurangi kebocoran pembuluh darah baru,” pungkas dr. Elvioza. (jie)