COVID-19 jadi Pandemi: Bagaimana Virus Ini Bekerja Melumpuhkan Penderita?
pandemi_covid_corona

COVID-19 jadi Pandemi: Bagaimana Virus Ini Bekerja Melumpuhkan Penderita?

Arif Nur Muhammad Ansori, Universitas Airlangga; Martia Rani Tacharina, Universitas Airlangga, dan Viol Dhea Kharisma, Universitas Brawijaya

Secara global, data terbaru dari Corona Resource Center John Hopkins University Amerika Serikat menunjukkan dari sekitar 126 ribu kasus COVID-19 di seluruh dunia per 12 Maret, 54% di antaranya telah sembuh. Kematiannya sekitar 3,6% (4.600-an orang). Artinya, jumlah penderita yang sembuh dari COVID-19 jauh lebih banyak ketimbang yang tak bisa diselamatkan hidupnya.

Bagaimana virus ini dapat membunuh sebagian kecil pasien? Juga mengapa mayoritas pasien bisa mengalahkan virus dan sembuh dari penyakit COVID-19? Inilah penjelasannya dari sudut biologi molekuler.

Cara kerja Coronavirus

Bayangkanlah virus itu seperti teroris yang bergerak secara diam-diam mencari titik lemah sasaran.

Dia menyusup pada sistem pemerintahan sebuah negara, menabrak titik lemahnya, dan pada saat yang tepat kemudian melumpuhkan negara tersebut. Lalu mereka membangun jejaring teroris yang lebih kuat untuk menyerang negara lain.

Tubuh juga seperti negara. Tubuh manusia rata-rata terbuat dari 30 triliun sel dan berisi 40 triliun bakteri. Sel-sel itu memperbarui diri sendiri secara terus menerus saat ada yang rusak. Sel punya sistem dan kekuatan untuk menghadapi musuh-musuhnya, salah satunya virus.

Saat tidak sedang berada di dalam inangnya, virus sebenarnya hanya sebuah bahan genetik (DNA atau RNA) yang diselubungi oleh protein. Begitu virus ini berhasil menyusup di sel makhluk hidup, baik hewan, tumbuhan maupun manusia yang kemudian menjadi inangnya, virus dapat hidup dan berkembang dan kemudian menjadi agen infeksi penyebab penyakit.

SARS-CoV-2 kemungkinan besar ditularkan dari kelelawar ke manusia. Penyakit akibat virus ini hampir sama dalam kasus SARS 2002 dan MERS 2012. Ketiga jenis virus dapat menyebar dari manusia ke manusia.

Para ilmuwan saat ini masih meneliti mengenai cara kerja SARS-CoV-2. Namun, berdasarkan genomnya, para peneliti melihat bahwa virus ini tampaknya bekerja dengan cara yang tidak jauh berbeda dengan SARS-CoV, yang menyebabkan wabah SARS pada 2002 atau golongan Coronavirus (CoV) lainnya.

Komite Taksonomi Virus Internasional (ICTV) mengidentifikasi SARS-CoV-2 sebagai galur dari SARS-CoV. Virus penyebab COVID-19 merupakan virus ketujuh dari golongan CoV yang menyerang manusia setelah 229E, NL63, OC43, HKU1, MERS-CoV, dan SARS-CoV.

SARS-CoV-2 tidak dapat memperbanyak diri tanpa menginfeksi sel mamalia sebagai inangnya atau rumahnya. Virus ini bisa menginfeksi sel pada manusia melalui kecocokan reseptor (molekul protein yang menerima sinyal kimia dari luar sel) pada sel tersebut.

Virus ini memiliki protein reseptor permukaan yang dapat berikatan dengan enzim (ACE2) di permukaan sel paru-paru (sistem pernapasan) dan usus halus (sistem pencernaan) dengan dipicu oleh enzim tertentu pada sel inang. Ini seperti gembok dan kunci yang cocok, sehingga dapat menyebabkan terbukanya suatu akses.

Sebuah penelitian terkini menunjukkan enzim pada sel inang, yang disebut furin, memiliki peranan yang penting pada proses ikatan antara virus SARS-CoV-2 dan inangnya. Furin ditemukan pada banyak jaringan tubuh manusia, termasuk paru-paru, hati, dan usus halus. Dengan demikian, virus itu berpotensi menyerang banyak organ.

Ikatan molekuler antara reseptor ACE2 pada manusia (warna abu-abu) dan protein reseptor permukaan dari SARS-CoV-2 (warna hijau). Penulis membuat pemodelannya di komputer. Author provided.

Setelah berikatan dengan reseptor sel inang, SARS-CoV-2 mengambil alih mesin kendali yang dimiliki oleh sel. Dia lalu membajaknya untuk menghasilkan lebih banyak materi genetik virus serta individu baru dari virus tersebut. Kemudian, sel inang kelamaan akan mati secara perlahan dan hancur.

Hal ini pada akhirnya dapat menyebabkan gangguan pada tingkat jaringan hingga kegagalan kerja organ.

Fase serangan paru-paru

Secara medis, gejala COVID-19 terlihat dari timbulnya infeksi seperti demam, batuk, sesak napas, dan kesulitan bernapas. Namun, ada pula yang sebenarnya terinfeksi tetapi tidak menunjukkan gejala apa pun.

Organisasi Kesehatan Dunia menyatakan COVID-19 biasanya menyerang paru-paru dalam tiga fase: (1) replikasi virus, (2) reaksi berlebih dari sistem kekebalan tubuh, dan (3) rusaknya paru-paru.

Namun, tidak semua pasien penyakit ini mengalami ketiga fase ini.

Pada kondisi awal infeksi, SARS-CoV-2 menyerang sel paru-paru manusia secara cepat. Ada dua tipe sel yang diserang, yaitu sel yang menghasilkan mukus (lendir) dan sel dengan silia (memiliki struktur seperti rambut).

SARS-CoV-2 menginfeksi dan membunuh sel silia, yang kemudian mengelupas dan mengisi saluran udara pasien dengan puing-puing sisa sel atau jaringan dan cairan sehingga membuat tidak optimalnya kerja organ.

Pada fase berikutnya, sel-sel sistem kekebalan tubuh mulai masuk. Tubuh kita melawan penyakit dengan membanjiri paru-paru dengan sel-sel sistem kekebalan tubuh untuk membersihkan kerusakan dan memperbaiki jaringan paru-paru.

Tapi kadang-kadang sistem kekebalan tubuh bermasalah dan sel-sel itu membunuh apa pun, termasuk jaringan tubuh yang sehat. Bahkan lebih banyak puing yang menyumbat paru-paru yang menyebabkan radang paru-paru (pneumonia) semakin memburuk.

Akhirnya kerusakan paru-paru terus meningkat pada fase ketiga. Hal ini yang dapat menyebabkan kegagalan bernapas yang dapat menyebabkan kematian.

Bahkan, jika kematian tidak terjadi, beberapa pasien bertahan dengan kerusakan paru-paru yang sangat parah. Ketika hal itu terjadi, pasien harus memakai ventilator untuk membantu sistem pernapasannya hingga kondisi pasien perlahan membaik dan pulih kembali.

Sementara itu, peradangan di paru-paru juga membuat membran antara kantong udara dan pembuluh darah lebih mudah ditembus oleh sebuah partikel yang dapat mengisi paru-paru dengan cairan dan mempengaruhi kemampuannya untuk memenuhi suplai oksigen dalam darah.

Data dari 44.000 pasien COVID-19, menurut Organisasi Kesehatan Dunia, 81% mengalami gejala ringan, 14% gejala parah, 5% sakit parah, antara 1% dan 2% meninggal karena penyakit ini. Selain itu, masa inkubasi pasien awalnya ditetapkan 1-14 hari. Kini, masa inkubasi ditingkatkan hingga 28 hari.

Uji coba obat

Walau sampai kini belum ada obat untuk COVID-19, sejumlah peneliti telah dan sedang menguji coba obat yang sebelumnya dipakai melumpuhkan virus lain. Sejumlah obat menunjukkan hasil yang positif.

Misalnya, sekelompok peneliti dari Imperial College London berkesimpulan baricitinib (obat radang sendi) efektif mengurangi kemampuan virus SARS-CoV-2 untuk menginfeksi sel paru-paru. Ini riset secara pemodelan dengan komputer (in silico), yaitu menggunakan perangkat lunak tertentu kita dapat memprediksi interaksi antara kandidat obat dan virus yang telah dipetakan genomnya.

Baricitinib dapat mengganggu mekanisme masuknya virus pada sel inang. Obat ini juga mampu menghambat jalan protein pada jalur persinyalan sel yang berpotensi untuk meningkatkan inflamasi atau radang pada jaringan atau organ.

Sebuah tim di Chinese Academy of Sciences dan Beijing Institute of Pharmacology and Toxicology yang menguji coba pada skala laboratorium (in vitro) mendapatkan bahwa remdesivir dan choloroquine (obat antimalaria dan penyakit autoimun) cukup efektif untuk melemahkan infeksi SARS-CoV-2.

Remdesivir telah dikenal sebagai obat yang menjanjikan untuk melawan infeksi SARS/MERS-CoV dan virus Ebola. Uji pada sel kultur, beberapa hewan coba, dan primata non-manusia terhadap virus yang sebelumnya muncul sudah dilakukan. Remdesivir diketahui bekerja dengan cara menghentikan pematangan virus pada sel inang yang telah terinfeksi virus.

Adapun chloroquine diketahui menghambat infeksi virus dengan meningkatkan derajat keasaman pada sel yang dibutuhkan untuk fusi virus atau sel, serta mengganggu reseptor virus. Chloroquine juga menstimulasi peningkatan kekebalan tubuh yang secara sinergis meningkatkan efek antivirusnya. Obat ini didistribusikan secara luas ke seluruh tubuh setelah pemberian oral, termasuk pada paru-paru.

Hingga saat ini, chloroquine adalah obat yang murah dan aman yang telah digunakan selama lebih dari 70 tahun dan berpotensi secara klinis untuk melawan SARS-CoV-2.

Sebenarnya, pasien COVID-19 bisa sembuh tanpa obat sepanjang kekebalan tubuh pasien kuat dan meningkat. Adapun kebanyakan yang meninggal, menurut sebuah riset berbasis data pasien di Cina , adalah pasien berusia lanjut yang sistem kekebalan tubuhnya lemah dan mengidap beberapa komplikasi penyakit sebelum terinfeksi virus ini seperti diabetes, hipertensi, dan penyakit jantung.

The Conversation

Arif Nur Muhammad Ansori, Kandidat Doktor bidang Sains Veteriner, Universitas Airlangga; Martia Rani Tacharina, Dosen Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Airlangga, dan Viol Dhea Kharisma, Peneliti Virologi Komputasi, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Brawijaya

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

______________________________________________

Ilustrasi: Medical photo created by freepik - www.freepik.com