pendemo positif covid-19 berisiko menulari orang lain

Abaikan Protokol Kesehatan, Pendemo Positif Corona

Demonstrasi menolak Undang Undang Cipta Kerja berlangsung massif di berbagai tempat di Indonesia. Di DKI Jakarta bahkan terjadi perusakan dan pembakaran fasilitas-fasilitas umum. Terlihat pendemo tak lagi mengindahkan protokol kesehatan pencegahan COVID-19. Beberapa di antara mereka –yang diamankan polisi – positif corona lewat tes swab. Mereka berisiko menulari orang lain.

Polres Metro Jakarta Barat, Kamis (8/10/2020) lalu mengamankan 96 remaja dari Serang, Banten, yang hendak berdemonstrasi di gedung DPR. Setelah dites swab,  hasilnya tiga remaja dinyatakan positif corona.

"Dari pagi hingga siang ada 96 orang yang diamankan di sekitar Tomang (Jakarta Barat)," kata Kapolres Jakarta Barat Kombes Audie S Latuheru dalam keterangan persnya. “Kami kemudian melakukan swab terhadap para remaja tersebut. Hasilnya tiga remaja positif corona.”

Sebelumnya, aparat gabungan Polres Jakbar dan Kodim Jakarta Barat juga mengamankan 89 remaja yang akan berdemo di DPR, dua di antaranya terkonfirmasi positif COVID-19.

"Hasil swab, dua dari 89 remaja yang diamankan terindikasi positif COVID-19 dan kami lakukan pengecekan secara ulang dan dari indikatornya dengan hasil yang sama," ujar Kombes Audie S Latuheru, Rabu (7/10/2020).

Dalam kesempatan berbeda Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus menjelaskan setidaknya sudah ada 27 orang pendemo yang dinyatakan reaktif COVID-19.

Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19 Prof Wiku Adisasmito pun bereaksi dan mengkhawatirkan munculnya klaster baru karena aksi unjuk rasa mengundang kerumunan.

"Mari kita ingat bahwa kita masih dalam kondisi pandemi, ada kedaruratan kesehatan masyarakat. Untuk itu kami ingatkan kembali kepada masyarakat untuk bahu-membahu menurunkan angka kasus COVID-19," pesannya dalam keterangan pers yang disiarkan kanal YouTube Sekretariat Presiden.

Risiko tinggi

Demonstrasi merupakan kegiatan dengan risiko penularan COVID-19 yang sangat tinggi, disebabkan sulit untuk menerapkan protokol kesehatan dalam kerumunan massa di durasi lama. Selain itu, sulit melakukan tes dan tracking.

Orang yang berteriak mengeluarkan lebih banyak droplets. Dan, berteriak membutuhkan lebih banyak oksigen, sehingga memacu paru-paru untuk bernapas lebih cepat. Risiko menghirup droplet yang mengandung virus corona lebih besar.

Masih ada faktor risiko dari asap, baik dari gas air mata atau benda-benda yang terbakar - membuat pendemo rentan mengusap area mata.

Risiko super-spreader event

Yang tidak kalah mengkhawatirkan adalah bila dari klaster demo bermigrasi ke klaster keluarga juga klaster kantor/pabrik. Super-Spreader event juga dikhawatirkan terjadi.

Satu orang positif COVID-19 yang tidak bergejala (asimptomatik), atau belum menunjukkan gejala, dapat menginfeksi pendemo, bahkan orang lain lain yang tidak ikut serta.

Berkaca dari aksi Black Lives Matter di Amerika Serikat beberapa waktu lalu, Caroline Buckee, ahli epidemiologi di Harvard T.H. Chan School of Public Heatlh, mengatakan sebagian besar demonstran masih berusia muda, ini berarti banyak dari mereka yang tidak menunjukkan gejala.

“Atau hanya bergejala ringan yang tidak membuat mereka harus ke fasilitas kesehatan. Sehingga dampak protes ini mungkin perlu sedikit waktu untuk menjangkau orang-orang yang sudah usia lanjut atau populasi yang tidak sehat,” ujarnya dilansir dari Scientific American.

Dalam jurnal Thorax (Mei 2020) juga dijelaskan bagaimana lamanya berada dalam kerumunan sangat berpengaruh pada risiko penularan.

Jurnal tersebut menjabarkan seorang OTG di AS menghadiri latihan paduan suara dan bernyanyi bersama selama 2,5 jam di Washington dengan memberlakukan jaga jarak aman. Namun, 5,2 dari 61 (87%) anggota paduan suara positif COVID-19 dan 2 orang meninggal. (jie)