pfizer umumkan vaksinnya punya efektivitas 90% mencegah covid-19

Update vaksin COVID-19: Pfizer Umumkan Vaksinnya Punya Efektivitas Lebih dari 90%

Dunia terus berlomba memroduksi vaksin yang efektif mencegah penularan COVID-19. Senin (9/11/2020) lalu, Pfizer mengumumkan bahwa dalam analisa pertama (sementara) uji coba vaksin COVID-19 menunjukkan efektivitas vaksin lebih dari 90% mencegah infeksi virus corona.

Vaksin ini dikembangkan Pfizer bekerjasama dengan perusahaan bioteknologi dari Jerman BioNTech. Dalam uji klinis yang melibatkan 44.000 orang; separuhnya mendapatkan dua suntikan vaksin, dan sisanya mendapatkan plasebo.

Sejauh ini terdapat 94 kasus COVID-19 pada orang yang sebelumnya tidak terinfeksi. Namun, kurang dari sembilan kasus terjadi di antara orang-orang yang menerima suntikan vaksin, sebuah indikasi kuat tentang efektifitas vaksin tersebut.

Dalam laporan tersebut tidak tercatat masalah keamanan yang serius. Efek samping vaksin serupa dengan apa yang dilaporkan dalam studi sebelumnya, termasuk rasa sakit di area suntikan, kelelahan, menggigil dan demam. Lebih banyak terjadi pada partisipan yang lebih muda daripada mereka yang berusia > 65 tahun. Namun sebagai informasi, data percobaan tersebut belum dipublikasi atau ditinjau oleh ilmuwan lainnya.

Dilansir dari Washington Post, Pfizer dan BioNTech berencana untuk mengajukan izin penggunaan darurat (Emergency Use Authorization / EUA) dari FDA (lembaga serupa BPOM milik pemerintah AS) setelah minggu ketiga November, ketika mereka sudah memiliki data tindak lanjut keamanan selama dua bulan dari separuh peserta uji klinis tersebut, bersama dengan data proses pembuatannya.

FDA akan mengadakan rapat komite penasihat eksternal untuk meninjau data tersebut. Dosis pertama vaksin Pfizer ini mungkin akan tersedia pada bulan Desember 2020.

Vaksin ini membutuhkan dua dosis, diberikan berselang tiga minggu. Pfizer dan BioNTech bekerja meningkatkan produksinya agar bisa memenuhi 50 juta dosis pada akhir tahun, dan 1,3 miliar dosis pada 2021.

Belum diketahui lamanya efektivitas vaksin

Peneliti independen mengingatkan agar tidak terlalu senang dengan hasil awal uji klinis, sebelum data keamanan dan kemanjuran jangka panjang dikumpulkan. Dan, tidak ada yang tahu berapa lama perlindungan vaksin dapat bertahan.

“Kami perlu melihat data aktual, dan kami akan membutuhkan hasil jangka panjang,” kata Jesse Goodman, profesor penyakit menular di Georgetown University. Namun, ia menambahkan, “Ini adalah bukti sains dan  kerja keras bahwa kita mendapatkan hasil yang sangat cepat dan bagus.”

Vaksin di Indonesia terganjal BPOM?

Sementara itu di dalam negeri, pemerintah telah memundurkan jadwal pemberian vaksin produksi Sinovac dan Bio Farma di minggu ketiga Desember, setelah mendapatkan izin penggunaan darurat (EUA) oleh Badan POM.

Sebagai informasi, WHO memberikan izin kepada otoritas negara setempat – dalam hal ini BPOM- untuk mengeluarkan EUA. Ada beberapa alasan kenapa BPOM tidak bisa segera memberikan EUA untuk suatu produk obat / vaksin baru.

Menurut Prof. Dr. dr. Cissy Rachiana Sudjana Prawira-Kartasasmita dalam keterangan persnya menjelaskan EUA yang diberikan oleh badan regulator mempertimbangkan rasio kemanfaatan dan risiko, berdasarkan seluruh data mutu, klinis dan nonklinis, serta risiko kondisi kesehatan masyarakat yang ditimbulkan penyakit.

Selain itu juga butuh data uji klinik untuk memastikan keamanan dan khasiat serta mutu vaksin untuk digunakan masyarakat.

"Menurut WHO syarat sebuah vaksin dapat diberikan EUA adalah minimal 50 % relawan sudah divaksinasi secara penuh dan terus dipantau selama 3 bulan setelah suntikan terakhir. Hal tersebut juga berlaku untuk vaksin jadi yang diimpor," imbuhnya.

Sementara itu, Plt. Deputi I BPOM Togi Hutadjulu menjelaskan pengambilan keputusan pemberian izin penggunaan darurat harus dilakukan dengan pertimbangan kemanfaatan yang lebih tinggi dari risikonya. Keputusan diambil berdasarkan hasil evaluasi data keamanan dan khasiat vaksin.

Namun saat ini, data-data tersebut masih terbatas, sehingga, kata Togi, untuk mendapatkan EUA tersebut dibutuhkan data-data dari uji klinik yang lebih luas dan waktu yang lebih panjang. (jie)