Penyebab Ketombe, Jamur hingga Stres | OTC Digest
penyebab ketombe_jamur_Malassezia

Penyebab Ketombe, Jamur hingga Stres

Gatal dan ‘serpihan salju’ yang dihasilkan ketombe sangat mengganggu, dan bikin malu. Ketombe atau kerak kulit kepala, sebabnya macam-macam. Menurut dr. Dewi Inong Irana, Sp.KK dari RS Permata Cibubur, “Ketombe (Pityriasis capitis) adalah sel-sel kulit mati yang terkelupas dari kulit kepala.” Secara alami, lapisan epidermis paling atas stratum corneum melepaskan lapisan luarnya secara konstan. Saat sel-sel kulit baru tumbuh, kulit yang sudah tua dan mati terdorong ke permukaan dan lepas dari kulit kepala. Umumnya hal ini tidak terlihat, karena ukurannya cukup kecil.

Namun pada sebagian orang, produksi sel kulit baru terjadi lebih cepat ketimbang sel yang mati. Dengan demikian, lebih banyak kulit yang dilepaskan, sehingga terlihat serpihan berukuran cukup besar yang rontok dari kulit kepala.

Keluhan ketombe umumnya mulai muncul setelah masa pubertas hingga usia 50-an. Ditengarai, ini berhubungan dengan faktor hormonal. Hormon yang mulai aktif saat puber, merangsang kelenjar sebum (minyak). Laki-laki lebih banyak yang mengalami ketimbang perempuan. Lagi-lagi, ini berhubungan dengan faktor hormonal dan kelenjar sebum. Laki-laki memiliki kelenjar sebum lebih besar dan lebih aktif, yang dipengaruhi oleh hormon laki-laki androgen. Nantinya ini berkaitan dengan pertumbuhan jamur di kulit kepala.

Ketombe juga bisa muncul akibat alergi atau iritasi, sebagai reaksi terhadap paparan zat tertentu di kulit kepala. “Misalnya, salah pilih sampo,” ucap dr. Inong.

Sulit memperkirakan, berapa banyak orang yang mengalami masalah ketombe karena jarang yang sampai berobat ke dokter. Namun dari gencarnya iklan sampo anti ketombe berbagai merk, bisa diduga, cukup banyak orang yang mengalaminya. Di Amerika Serikat (AS), diperkirakan 1 dari 3 hingga 50% orang memiliki masalah ketombe.

 

Infeksi jamur

Penyebab ketombe paling umum yakni infeksi ringan dari Pityosporum ovale (P. ovale). Jamur ini sebenarnya merupakan flora normal, yang hanya ditemukan di kulit manusia. P. ovale bisa hidup di kulit tanpa menimbulkan gangguan apapun. “Pada orang yang berketombe, dia tumbuh berlebihan. Bisa karena lembap, atau karena stres,” terang dr. Inong. Kondisi kepala yang lembap turut mendukung pertumbuhan jamur. Cepatnya pertumbuhan P. ovale juga bisa dipicu oleh iklim, keturunan, diet (pola makan) dan hormonal.

Pityosporum atau dikenal sebagai Malassezia, membutuhkan lipid (lemak) untuk pertumbuhan. Karenanya, mikroorganisme ini banyak ditemukan di kulit yang kaya akan sebum (minyak), misalnya kulit kepala. Proses metabolisme oleh P. ovale akan menghasilkan asam lemak jenuh, yang kemudian digunakan untuk pertumbuhan dan proliferasi (pembelahan) jamur tersebut, dan asam lemak tidak jenuh berupa oleic acid dan arachidonic acid.

Pada orang yang rentan berketombe, oleic acid akan merangsang pengelupasan kulit kepala. Adapun arachidonic acid berkaitan dengan reaksi inflamasi (peradangan), yang menimbulkan gatal dan kemerahan. Infeksi P. ovale dapat mengiritasi kulit kepala dan merangsang pertumbuhan sel kulit baru lebih banyak, sebagai reaksi dari sistem imun melawan infeksi.

Pada kondisi berketombe, jumlah P. ovale bisa 1,5 – 2 kali lebih banyak daripada kondisi normal. Sebuah studi menemukan, populasi P. ovale membentuk sekitar 46% dari flora kulit kepala. Pada mereka yang berketombe, populasinya naik hingga 74% dan 82% pada kasus dermatitis seboroik. Pada orang tertentu, populasi Malassezia tetap normal tapi muncul keluhan ketombe, karena sensitif terhadap organisme tersebut. Dari sekian banyak spesies Malasseiza, yang paling sering menyebabkan ketombe dan dermatitis seboroik yakni M. globosa. Meski terjadi akibat infeksi, ketombe tidak menular.

 

Dermatitis seboroik

Selain ketombe ‘biasa’, P. ovale bisa memicu timbulnya dermatitis seboroik. “Ini adalah eksim kulit kepala. Gejalanya sama seperti ketombe, tapi lebih lebar, terasa gatal dan kemerahan,” tutur dr. Inong. Selain gatal, dermatitis seboroik kadang menimbulkan sensasi seperti terbakar.

Seperti ketombe, dermatitis seboroik kerap terjadi usia pubertas hingga paruh baya. Selain di kepala, dermatitis seboroik bisa muncul di alis, kelopak mata (tempat bulu mata tumbuh) serta daerah kumis, jenggot dan cambang. Daerah lain yang juga bisa terkena yakni bagian bawah dada, pusar dan daerah kemaluan. Kondisi yang muncul pada bayi baru lahir (cradle crap), biasanya hilang dengan sendirinya di usia 6 – 12 bulan. Diduga, hal ini merupakan respon terhadap rangsangan hormon ibu.

Mereka yang mengalami kelainan saraf pusat seperti penyakit Parkinson dan cranial nerve palsies, cenderung lebih rentan terhadap dermatitis seboroik. Penderita AIDS juga rentan; insidennya mencapai 85%. Belum diketahui pasti apa sebabnya, tapi diduga berhubungan dengan sistem imun, faktor nutrisi dan densitas P. ovale.

Sebagian orang menduga dermatitis seboroik terjadi akibat kulit kering, sehingga mereka mengurangi frekuensi keramas. Padahal, hal itu justru akan meningkatkan akumulasi kulit kepala. Inflamasi bisa timbul lebih jauh dan memperburuk gejala. Bila tidak diobati, ‘sisik’ bisa menjadi tebal, kekuningan, berminyak dan kadang terjadi infeksi sekunder.

 

Pengaruh stres

Sebuah studi terhadap 82 orang dilakukan pada 2007. Ditemukan, 80% pasien depresi memiliki kulit kepala yang gugur berlebihan. Saat stres, tubuh memproduksi glucocorticoid, zat yang membantu menenangkan. Zat ini juga memiliki kemampuan mengubah sel-sel pada kulit kepala, menjadikannya lebih rentan terhadap jamur Malassezia.

Selain itu, “Dalam kondisi stres, ujung-ujung saraf di kulit mengeluarkan zat yang disebut neuro substance P,” dr. Inong menjelaskan. Zat ini mengubah sifat kulit, membuat turn over (proses pergantian kulit) menjadi lebih cepat.

Bagaimana cara efektif membasmi ketombe? Baca di sini. (nid)