mengenal sel dendritik pada vaksin nusantara
vaksin nusantara berbasis sel dendritik

Mengenal Sel Dendritik Yang Digunakan Dalam Vaksin Nusantara

Vaksin Nusantara menuai kontroversi karena uji klinis fase II terus dilakukan, mengabaikan permintaan Badan POM. Mereka yang setuju pada ide vaksin Nusantara ini menganggap perlu gebrakan revolusioner agar pasokan vaksin di Indonesia tercukupi.

Sebelumnya, BPOM menyatakan banyak kejanggalan dalam uji klinis fase I dan tidak sesuai standar pengembangan obat dan vaksin.

Salah satu persyaratan yang belum dipenuhi adalah kondisi steril lokasi produksi vaksin. Selain itu secara umum BPOM menilai pengembangan vaksin Nusantara tidak memenuhi aspek Good Manufacturing (GMP) dan Good Laboratory Practice (GLP) yang mengacu pada proses kelayakan produksi vaksin.

Bahkan pada uji klinis fase I vaksin nusantara setidaknya ada 71,4% relawan (20 dari 28 subyek) mengalami Kejadian yang Tidak Diinginkan (KTD), meskipun grade 1 dan 2.

Kepala BPOM Penny Lukito mengatakan, "KTD yang terjadi adalah nyeri lokal, nyeri otot, nyeri sendi, nyeri kepala, penebalan, kemerahan, gatal, ptechiae, lemas, mual, demam, batuk, pilek dan gatal."

Selain pada grade 1 dan 2, KTD menurut Penny, juga terjadi pada grade 3 pada 6 subyek. Rinciannya subyek 1 mengalami hipernatremi (konsentrasi kalium tinggi pada darah), 2 subyek mengalami peningkatan Blood Urea Nitrogen (BUN) dan 3 subyek mengalami peningkatan kadar kolesterol.

"Kejadian yang Tidak Diinginkan grade 3 merupakan salah satu pada kriteria penghentian pelaksanaan uji klinik yang tercantum pada protokol uji klinik, namun berdasarkan informasi Tim Peneliti saat inspeksi yang dilakukan Badan POM, tidak dilakukan penghentian pelaksanaan uji klinik dan analisis yang dilakukan oleh Tim Peneliti terkait kejadian tersebut," ucap Penny.

Sebagaimana diketahui Rabu (14/4/2021) lalu sejumlah relawan uji klinis fase II vaksin Nusantara mendatangi RSPAD Gatot Subroto untuk dilakukan pengambilan sampel darah. Mereka antara lain beberapa anggota Komisi IX DPR RI, hingga mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo.

Terlepas dari kontroversi pengembangan vaksin Nusantara, ada baiknya kita belajar tentang sel dendritik yang diributkan.

Dendritik sel yang profesional

Sel dendritik pertama kali ditemukan oleh Ralph M. Steinman, Dinah S. Lustig dan Zanvil A. Cohn pada tahun 1972.

Sel ini berbentuk menyerupai bagian dendrit di neuron (sel otak), tetapi sel dendritik tidak bekerja pada sistem saraf, melainkan berperan sebagai penghubung sistem imun bawaan dan sistem imun adaptif.

Fungsi utama sel dendritik yaitu sebagai sel penyaji antigen (antigen presenting cells /APC), yaitu sel-sel yang berkemampuan mengikat antigen dan menyajikan potongan protein dari antigen tersebut pada sel T dan sel B (keduanya adalah jenis-jenis sel darah putih).

Thiago A. Patente, dari Institute of Biomedical Sciences, University of São Paulo, Brazil, menyebut sel dendritik sebagai sel yang profesional.

“Sel dendritik adalah sel penyaji antigen profesional, yang secara unik mampu memicu aktivasi sel T. Mereka juga terlibat dalam induksi dan pemeliharaan toleransi kekebalan dalam kondisi homeostatis,” tulis Tiago dan tim dalam laporan ilmiah yang diterbitkan di jurnal Immunology.

Lebih jauh melansir Frontiersin.org, Thiago menjelaskan bila sel dendritik mampu memulai, mengoordinasikan dan mengatur respons imun adaptif.  

Dikembangkan dalam terapi kanker

Sel dendritik dan sel T merupakan dua sel penting dalam terapi kanker berbasis sistem imun, disebut imunoterapi.

Sekadar informasi, kanker adalah sel tubuh sendiri yang mengalami mutasi sehingga berubah sifat menjadi ganas. Sel-sel kanker melepaskan antigen. Karena sel kanker sudah berubah sifat dari sel normal menjadi ganas, antigennya pun berubah. Inilah yang dikenali oleh sel dendritik sebagai antigen asing.

Setelah sel dendritik menangkap antigen tersebut, ia kemudian mempresentasikannya ke sel limfosit di kelenjar getah bening. Sel T lalu diaktifkan, dan dilepas dari getah bening, untuk mencari sel yang mengeluarkan antigen asing tadi.

“Sel T pun menuju kanker, lalu membunuhnya secara spesifik. Ia tidak membunuh sel-sel yang lain,” terang Prof. Dr. dr. Siti Boedina, Sp.PK(K), spesialis patologi klinik, dalam diskusi Pendekatan Baru Pengentasan Kanker Paru, beberapa waktu lalu.

Bagaimana potensinya untuk vaksin massal?

Dalam pengembangan vaksin Nusantara, sel dendritik yang diambil dari darah subyek akan dipaparkan dengan antigen SARS-CoV-2 di dalam laboratorium.

Sel dendritik yang telah mengenal antigen akan diinjeksikan ke dalam tubuh kembali. Di dalam tubuh, sel dendritik tersebut akan memicu sel-sel imun lain untuk membentuk sistem pertahanan memori terhadap SARS COV-2.

Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Prof. Dr. Amin Soebandrio, PhD, SpMK(K) mengatakan, vaksin ini diambil dari tubuhnya orang yang bersangkutan lalu diproses, di-load dengan antigen dan disuntikan kembali dengan orang yang sama. Harus diberikan pada orang yang sama, tidak bisa untuk orang lain.

“Mungkin bisa bangkitkan respons imun, tapi tidak untuk dipakai secara massal. Sehingga vaksin tersebut tidak tepat dimanfaatkan di tengah situasi pandemi seperti saat ini,” urai Prof. Amin, dalam webinar Swiss German University, Rabu (14/4/2021). (jie)