Mengatasi Insomnia | OTC Digest

Mengatasi Insomnia

Gejala insomnia relatif mudah dikenali. Antara lain ngantuk di siang hari, kelelahan, mudah marah, serta gangguan konsentrasi/memori. Mereka dengan penyakit kronis, sampaikan ke dokter mengenai kualitas dan durasi tidur sehari-hari. Apalagi bila ada keluhan insomnia. “Jangan-jangan penyakit jantung, diabetes, atau hipertensi yang belum terkontrol padahal sudah bolak-balik ke dokter, pengaruhnya dari insomnia,” tutur dr. Astuti, Sp.S (K) dari Klinik Gangguan Tidur RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta.

Menurut dr. Astuti, insomnia tidak boleh dianggap enteng. Komplikasi yang ditimbulkannya bagi kesehatan bisa sangat serius. Bila tidak ditangani dengan tepat atau tidak dideteksi dini, akan menyebabkan dampak yang lebih serius lagi dan biaya pengobatan yang cukup mahal.

Untuk memastikan insomnia, dokter perlu menilai berbagai aspek dari kondisi pasien, seperti yang dilakukan di Klinik Gangguan Tidur RSUP Dr. Sardjito. Orang yang bersangkutan bisa datang sendiri ke klinik, atau dari rujukan dokter spesialis lain misalnya jantung dan penyakit dalam. Selanjutnya, dokter melakukan wawancara dengan pasien dan keluarga yang mengetahui kondisi tidur pasien. Dilanjutkan denganpemeriksaan fisik, “Untuk menilai apakah ada faktor hipertensi, dan pemeriksaan syaraf lengkap.”

Riwayat penyakit akan dievaluasi. Dokter akan memutuskan, apakah kecurigaan insomnia itu disebabkan oleh penyakit lain. “Misalnya skor kecemasannya tinggi, maka akan dikonsultasikan ke bagian kejiwaan untuk diobati. Semisal ada gangguan jantung, akan didiskusikan dengan ahli jantung,” papar dr. Astuti.

Bila diperlukan, akan dilakukan pemeriksaan dengan polisomnofragi. Yakni alat untuk menilai arsitektur tidur pasien. “Di Klinik Gangguan Tidur Sardjito, perekaman tidur sudah ditanggung oleh BPJS kalau ada indikasi,” ujar dr. Astuti. Untuk pemeriksaan polisomnografi, pasien perlu di klinik. Sebelum tidur, akan  dipasang peralatan untuk mengukur gelombang otak, saturasi oksigen di otak dan sebagainya.

Pemeriksaan berlangsung semalaman, dari pukul 20.00 – 04.00. Akan dilihat berapa lama durasi tidur pasien, apakah ada gangguan saat sudah masuk tidur, apakah bisa mempertahankan tidur, ataukah bangun terlalu cepat. Juga dinilai dampaknya di pagi hari.

 

CBTI, terapi utama

“Penanganan insomnia ada dua, yakni edukasi dan obat. Pilihan pertama adalah edukasi,” tegas dr. Astuti. Saat merumuskan pengobatan, dokter akan mendiskusikannya dengan pasien dan keluarga. Sehingga, pasien mengerti manfaat serta untung-rugi dari pengobatan. Juga, bagaimana pembiayaannya, dan apakah perlu obat.

Edukasi dilakukan dengan CBTI (cognitive behavioral therapy for insomnia). Saat wawancara berlangsung, dokter juga akan menanyakangaya hidup dan kondisi sebelum tidur; apakah ada kebiasaan/perilaku tertentu yang membuat sulit tidur.

Intinya, sebelum tidur perlu menyiapkan badan, pikiran dan kamar. Badan diusahakan jangan terlalu lelah karena akan membuat gelisah saat tidur. Hindari berolahraga menjelang waktu tidur, “Sebaiknya sudah berhenti olahraga 4-5 jam sebelum tidur.” Lakukan relaksasi. Misalnya mandi atau berendam air hangat dengan aromaterapi. Kenakan pakaian tidur yang nyaman dan longgar, tidak sempit atau membuat gerah.

Disarankan membatasi konsumsi junk food dan makanan yang diproses (misalnya sosi, korned), serta perbanyak sayur-buah. Ini akan membuat metabolisme tubuh dan pencernaan berjalan dengan optimal, sehingga tidak menciptakan stres pada tubuh. Juga akan menghindari kita dari berbagai penyakit kronis, yang bisa menyebabkan/memperburuk insomnia. “

Hindari makan makanan yang merangsang perut, misalnya buah yang terlalu asam. Kalau maag kumat, tentu tidak bisa tidur,” ujar dr. Astuti. Sebaiknya tidak makan makanan berlemak dua jam sebelum jam tidur. Makanan jenis ini sulit dicerna; membuat lambung bekerja keras sehingga ketika saatnya tidur, asam lambung bisa naik ke kerongkongan dan menyebabkan heart burn. Hindari pula konsumsi minuman yang bersifat stimulan misalnya yang mengandung kafein seperti kopi, teh dan coklat, beberapa jam sebelum tidur.

Tenangkan pikiran. Hilangkan kekhawatiran tidak bisa tidur, karena akan terrtanam di bawah sadar, “Tidur itu perlu ikhlas; seberapa pun bisa tidur, nikmati saja dan bersyukur.” Usahakan santai, tidak perlu terlalu fokus pada masalah tidak bisa tidur. “Semakin memaksakan diri untuk tidur, semakin tidak bisa tidur jadinya,” imbuh dr. Astuti.

Kondisikan kamar tidur. Gunakan kamar hanya untuk tidur dan aktivitas suami-istri. “Jangan dipakai untuk kerja atau nonton TV,” tandasnya. Atur suhu dan pencahayaan kamar yang kondusif untuk tidur. Bisa pula memutar music yang frekuensinya sesuai dengan nilai ambang tidur; yang lembut dan mengalun. Bila dirasa membantu, silakan membaca buku sebelum tidur. Tentu, buku yang dipilih sebaiknya yang memberikan efek menenangkan.

Dokter bisa mengajarkan teknik hipnoterapi. “Kami ajarkan pasien untuk menghipnotis dirinya sendiri, agar bisa masuk ke ambang tidur,” terang dr. Astuti. Hipnotis ini bersifat terapi, berbeda dengan hipnotis yang digunakan untuk mengelabui orang lain seperti gendam.

 

Pilihan obat

Obat harus atas resep dokter. Secara garis besar, ada dua golongan obat yang kerap diberikan: golongan benzodiazepine dan non benzodiazepine. Umumnya, benzodiazepine digunakan untuk pengobatan insomnia akut, misalnya yang disebabkan oleh rasa cemas. Namun, obat ini justru bisa menambah kecemasan bila terus menerus digkonsumsi. Karenanya, tidak boleh untuk jangka panjang. Benzodiazepine memiliki efek menidurkan, tapi penggunaan jangka panjang lama akan merusak arsitektur tidur dan menimbulkan adiksi (ketagihan).

Penggunaan obat akan dikontrol ketat oleh dokter, dan dievaluasi. Misalnya setelah dua minggu tidak ada perbaikan dengan benzodiazepine, dokter akan mempertimbangkan obat lain dari golongan non benzodiazepine. Berdasarkan rekomendasi Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat FDA, dosis benzodiazepine dikurangi, lalu diganti dengan obat lain dengan dosis rendah.

Dari sekian banyak pilihan obat tidur, akan dipilih yang aman, efek samping sedikit, dan bisa memperbaiki arsitektur tidur. Perlu waktu agar obat bisa bekerja memperbaiki arsitektur tidur, “Bukan sim salabim seperti minum obat batuk lalu besoknya langsung sembuh.”

 Efikasi obat bisa berbeda pada tiap orang. Pada yang sensitif, sekali minum mungkin bisa langsung tidur enak sampai sekian jam. sebagian orang mungkin hanya bisa tidur 15 menit. “Seberapa pun, harus disyukuri,” tambah dr. Astuti. (nid)