pendapat ahli saling berseberangan tentang obat covid-19 unair

Kenapa Para Ahli Berseberangan Tentang Obat Anti COVID-19 dari Unair

Kombinasi obat COVID-19 yang diproduksi oleh Universitas Airlangga (Unair) bekerja sama dengan TNI Angkatan Darat dan Badan Intelijen Negara (BIN) saat ini sedang menjadi perhatian banyak kalangan. Pendapat para ahli saling berseberangan tentang obat ini.

Sebagaimana diberitakan para peneliti dari Unair telah menyelesaikan uji klinis fase III kombinasi obat untuk COVID-19. Dikatakan kombinasi obat tersebut efektif membunuh virus COVID-19 lebih dari 90% dalam waktu 3 hari.

Unair mengombinasikan beberapa obat, yang sebelumnya sudah dipakai dalam perawatan kasus COVID-19 secara tunggal. Obat-obatan tersebut meliputi lopinavir, ritonavir dan hydroxychloroquine, serta tiga antibiotik (azithromycin, clarithromycin dan doxycycline).

Lopinavir merupakan zat penghambat enzim protease yang khusus dikembangkan untuk menghambat penggandaan virus HIV.

Ritonavir, yang biasa diberikan bersamaan lopinavir, merupakan agen penstabil yang bekerja dengan cara menghambat aktivitas cytochrome p450 (enzim yang terlibat dalam metabolisme obat) sehingga memperpanjang waktu paruh dari lopinavir.

Sedangkan azithromycin, clarithromycin dan doxycycline merupakan antibiotik yang memiliki aktivitas menghambat pertumbuhan bakteri, yang dalam hal ini digunakan untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder.

Para peneliti mengkombinasikan enam obat ini menjadi lima regimen. Ternyata dosis yang dihasilkan lebih rendah dibanding apabila obat diberikan secara tunggal.

"Setelah kami kombinasikan daya penyembuhannya meningkat dengan sangat tajam dan baik. Untuk kombinasi tertentu itu sampai 98 % efektivitasnya," ujar Rektor Unair Prof Mohammad Nasih dalam penyerahan hasil uji klinis fase III di Mabes AD, Jakarta.

Dalam kesempatan berbeda, Prof. dr. Zubairi Djoerban, Ketua Satgas COVID-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) merespons baik adanya obat tersebut.

"Kalau lulus uji bagus sekali bisa dimanfaatkan untuk rakyat, kalau gak lulus gak bisa. Nanti setelah selesai dievaluasi akan dihitung apakah punya daya lindung di virus COVID-19," ungkap Prof. Zubairi.

Namun di satu sisi beberapa ahli justru mempertanyakannya. Dilansir dari Kompas, Ahmad Utomo ahli biologi molekuler independen menyoal tentang belum terperincinya data yang dipaparkan peneliti.

“Kita perlu tahu rentang usia per kelompok yang diuji, muda antara usia berapa,” katanya.

Hal ini dikarenakan, peneliti hanya menuliskan simbol dalam kelompok perlakuan sebagai grup SoC, A, B, C, D, dan E, tanpa menjelaskan lebih lanjut siapa saja yang termasuk dalam kelompok tersebut, berapa usianya, jenis kelaminnya apa, bagaimana kondisi kesehatannya, atau riwayat penyakit bawaan.

Selain itu, menurut Ahmad, hingga saat ini belum ada data resmi yang dikeluarkan peneliti untuk dikaji ulang oleh ilmuwan lain - disebut laporan peer-rewiew - yang lazim dilakukan dalam sebuah penelitian.

Hal lain yang menjadi pertanyaan adalah penggunaan obat hydroxychloroquine yang oleh WHO dinyatakan justru bisa memperburuk kondisi pasien, sehingga mereka menghentikan penelitian pada obat ini.

Maksum Radji, ahli mikrobiologi klinis di Fakultas Farmasi Universitas Indonesia (UI), dilansir dari The Jakarta Post mengimbau masyarakat untuk menahan optimisme hingga berita resmi tentang khasiat obat dirilis.

Hasil uji klinis belum dipublikasikan di jurnal ilmiah mana pun, sehingga sulit untuk menilai kemanjuran dan risiko yang melekat pada penggunaan tiga kombinasi obat tersebut.

Dia menambahkan bahwa kombinasi obat semacam itu bukanlah yang pertama dari jenisnya di dunia, juga bukan penemuan baru. Ada perkembangan serupa di beberapa negara lain di mana ketiga kombinasi obat tersebut telah dimasukkan dalam daftar pengobatan potensial COVID-19.

Ini bukan pertama kalinya klaim penemuan obat untuk COVID-19. Pada Mei 2020, Kementerian Pertanian mengatakan telah mengembangkan perawatan virus korona berbasis kayu putih, termasuk "kalung antivirus", sebelum menarik kembali klaim bulan lalu, menyusul kecaman publik yang meluas. (jie)