Kapan harus memilih opsi bayi tabung | OTC Digest

Kapan harus memilih opsi bayi tabung

Memiliki momongan menjadi dambaan setiap pasangan suami istri. Namun karena berbagai hal, baik suami atau istri, bisa mengalami masalah infertilitas. Bayi tabung dapat menjadi solusi memiliki momongan. Kapan seseorang perlu melakukan program bayi tabung ?

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan infertilitas atau ketidaksuburan adalah jika seorang wanita tidak mendapatkan kehamilan setelah 1 tahun menikah, dan melakukan hubungan seksual rutin 2-3 kali seminggu tanpa kontrasepsi.

Yang perlu digarisbawahi adalah gangguan kesuburan tidak melulu masalah wanita, melainkan juga faktor suami. “Pada wanita penyebabnya bisa berupa gangguan ovulasi, endometriosis, perlekatan organ panggul dan sumbatan saluran telur. Sedangkan pada pria, disebabkan kualitas sperma yang sangat rendah,” terang dr. Ivan Sini, GDRM, MMIS, FRANZCOG, SpOG, selaku Sekertari Jendral Perhimpunan Fertilisasi In Vitro di Indonesia (PERFITRI).

Salah satu terapi infertilitas yang sudah terbukti dan teruji adalah in vitro fertilization (IVF) atau bayi tabung; di Indonesia dilakukan sejak tahun 1988. Semakin dini pasangan suami istri melakukan program bayi tabung kemungkinan untuk berhasil semakin besar.

Usia seseorang berpengaruh pada kualitas sel telur atau sperma. “Wanita berusia >35 tahun kualitas sel telurnya semakin menurun. Sementara kualita sperma berkurang saat pria berusia 40 tahun ke atas,” terang dr. Ivan dalam acara Sosialisasi Bayi Tabung / In Vitro Fertilization (IVF) Sebagai Solusi Masalah Kesuburan di Indonesia, di Jakarta (30/8/2018).  

Keberhasilan bayi tabung 35-50% bagi pasangan usia <35 tahun; 20-25% bagi pasangan usia 40 tahun. Agar keberhasilan tinggi, perlu sedikitnya 8 sel telur berkualitas.

Baca juga : Prosedur Bayi Tabung

Dalam kesempatan yang sama Prof. Dr. dr. Budi Wiweko, SpOG(K), MPH, selaku Presiden PERFITRI, menambahkan, selain umur kronologis (usia sesuai tanggal lahir), umur biologis yang turut mempengaruhi kualitas sel telur dan jumlah sperma.

“Walau masih muda ada yang kualitas sel telur tidak baik atau spermanya sangat sedikit (azoospermia),” katanya. “Mereka ini adalah kandidat kuat untuk melakukan bayi tabung.”

Tentang azoospermia, Prof. Iko (sapaan Prof. Budi Wiweko) menjelaskan, bisa disebabkan karena gangguan produksi atau akibat hambatan/sumbatan di saluran sperma. Ini menyebabkan jumlah sperma yang keluar saat ejakulasi sangat sedikit, < 5 juta /ml (normalnya sekitar 15 juta/ml).

“Normalnya membutuhkan 100 ribu sperma untuk membuahi satu sel telur. Dengan teknologi bayi tabung kita akan ambil satu sperma dari testis untuk membuahi sel telur,” terang Prof. Iko. “Artinya berapapun jumlahnya, asal ada sperma yang hidup, bisa dipakai untuk membuahi sel telur.”

Biaya yang harus dikeluarkan untuk satu siklus bayi tabung (dari stimulasi ovarium sampai penanaman sel telur ke rahim) sekitar Rp. 50-60 juta. “Dengan tingkat keberhasilan yang sama di seluruh dunia, jumlah tersebut jauh lebih murah jika program bayi tabung dilakukan di luar negeri,” papar Prof. Iko.

Proses bayi tabung

Proses (siklus) terapi bayi tabung membutuhkan waktu sekitar 2-4 minggu. Dimulai dengan stimulasi ovarium, yakni dengan memberikan obat hormonal dimulai dari hari ke 2-3 setelah menstruasi.

“Ovarium umumnya mempunyai beberapa cikal bakal telur pada awal bulan. Pemberian obat tujuannya agar ovarium bisa memproduksi 10-12 sel telur untuk bisa diambil. Proses pengambilan hanya memakan waktu 15-30 menit. Memakai bius lokal dan tidak sakit,” terang dr. Ivan.

Kemudian di laboraturium, ahli (dokter) akan memeriksa jumlah sperma. Jika jumlah sperma cukup, segera akan ‘dipertemukan’ dengan sel telur di cawan patri. Diharapkan segera terjadi perlekatan antara sperma dan sel telur.

“Sementara jika spermanya kurang, maka dilakukan tindakan intrascytoplasmic sperm injection (ICSI),” tambah dr. Ivan. ICSI adalah tindakan mengambil satu sperma yang kemudian dimasukkan ke dalam sel telur.

Pemantauan dilakukan tiap hari di laboratorium sampai embrio siap ditanamkan kembali ke dalam rahim. Sisa embrio yang sudah diambil akan disimpan dalam tangki nitrogen cair (mampu bertahan bertahun-tahun), yang bisa dipakai lagi sewaktu-waktu. Ini untuk mengantisipasi jika sperma tidak mau menempel ke sel telur pada siklus bayi tabung pertama.   

“Setelah sel telur dimasukkan kembali ke rahim, dalam studi ekstrim pasien disuruh lompat, ternyata embrionya tidak bergerak. Artinya tidak perlu ketakutan berlebihan, tetap beraktivitas biasa. Pengalaman empirik membuktikan pasien yang bed rest terlalu lama setelah embrio ditanam justru gagal (tidak hamil), karena stres. Istirahat 1-2 hari, kemudian beraktivitaslah normal,” imbuh Prof. Iko. (jie)