Kanker Paru Mematikan, Sulit Dideteksi | OTC Digest

Kanker Paru Mematikan, Sulit Dideteksi

“Kanker paru itu sulit dideteksi dan begitu ditemukan, ‘selesai’ sudah,” ujar dr. Elisna Syahruddin, Ph.D, Sp.P(K) dari RSUP Persahabatan, Jakarta. Angka kematian akibat kanker paru sangat tinggi, dan survival rate (tingkat kelangsungan hidup) yang mencapai 5 tahun sangat rendah. Di RSUP Persahabatan, sepanjang 2015 tercatat 684 kasus baru kanker paru, dan >1.000 pasien berobat per tahun. “Tiap hari ada tiga atau empat kasus baru kanker paru,” imbuhnya.

Berdasar Globocan 2012, kanker paru merupakan kanker terbanyak sekaligus pembunuh nomor satu akibat kanker pada laki-laki. Insidennya 26/100.000 orang, dengan angka kematian 23/100.000. Pada perempuan, ini kanker terbanyak kelima dengan insiden 8/100.000 orang dan angka kematian 7/100.000.

Di Indonesia, 80% pasien kanker paru datang ke dokter sudah stadium lanjut, 3B atau 4. Gejala kanker paru tidak khas, sehingga sulit dideteksi. “Keluhannya hanya batuk, sesak nafas dan nyeri dada. Kalau sudah batuk berdarah baru ke dokter,” ujar dr. Elisna. Keluhan ini mirip keluhan penyakit paru umumnya. Ada yang tidak mau periksa, takut didiagnosis TB (tuberculosis).

Pada tahap awal, kanker paru jarang ada gejala karena benjolan kecil tidak banyak mengganggu fungsi paru. ”Paru itu kalau dibuka seluas lapangan bola. Kanker ukuran 1 cm dan tumbuhnya di pinggir, tidak berarti apa-apa. Kecuali kalau di tengah saluran nafas sampai menyumbat,” tutur dr. Elisna.

Perjalanan hingga kanker paru sangat lambat. Bila pemeriksaan dengan CT scan menemukan kanker paru ukuran 1 cm, bisa jadi sudah dimulai sejak 10 tahun lalu. Begitu muncul, yang  1 cm berkembang menjadi 10 cm hanya dalam hitungan minggu atau bulan, “Pertumbuhannya bukan deret hitung, tapi deret ukur.”

 

Sulit dideteksi

Kanker paru dengan gejala yang tidak khas, menjadi tantangan dalam mendiagnosis. “Untuk kanker payudara ada mamografi. Kanker serviks bisa dengan Pap smear atau IVA (inspeksi visual asam setat). Kalau kanker paru sampai saat ini belum ada,” ungkap dr. Niken W. Palupi, MKM, Kasubdit Pengendalian Penyakit Kanker Kementrian Kesehatan.

Di negara maju, kanker paru bisa dideteksi dini karena ada program pemerintah, menggunakan CT scan low dose. Di Indonesia belum, karena mahal; Rp 1,5 juta sekali periksa. Sedangkan, jumlah perokok di Indonesia sangat banyak.

Pemeriksaan bronkoskopi bisa dilakukan, tapi tidak praktis dan tidak nyaman karena harus  dimasukkan selang (skop) ke jalan nafas melalui lubang hidung atau mulut, turun ke tenggorokan hingga ke paru. Pemeriksaan ini bisa melihat kondisi jalan anfas, apakah ada pertumbuhan massa yang tidak normal (tumor/kanker). Dengan bronkoskopi juga bisa mengambil contoh jaringan paru (biopsi) atau  contoh sputum/dahak, untuk diperiksa apakah ada sel kanker.

 

Faktor risiko

Mendeteksi kanker paru bisa dari skrining diri, untuk mengenali dan menilai faktor risiko; utamanya, rokok dan usia >40 tahun. Patokan usia terkait dengan kebiasaan merokok. Umumnya, orang mulai merokok di usia 20-an. Sel paru bermutasi menjadi tidak normal butuh waktu minimal 10 tahun. Setelah itu sel-sel abnormal bolak-balik diperbaiki oleh system imun. “Jadi rata-rata kanker paru ketemu di usia 40 tahun,” ujar dr. Elisna.

Rokok berarti terpapar asap rokok; bukan hanya perokok aktif, tapi juga perokok pasif. Merokok (aktif maupun pasif) dan usia >40 tahun adalah kelompok berisiko tinggi. “Disarankan melakukan pemeriksaan foto toraks (rontgent paru) minimal 1x setahun,” tegas dr. Niken.

Rontgent paru bisa melihat bila ada perubahan. Sayangnya, tidak jarang hasil rontgent didamkan, tidak langsung konsultasi ke dokter spesialis paru. Terutama bila menggunakan fasilitas medical check up dari kantor; hasil foto biasanya disimpan pihak kantor, dan baru diberikan ke pemiliknya 3-4 bulan kemudian. Ini merugikan karena bisa saja sudah ada kelainan, tapi terlambat ditangani.

Berdasar pengalaman dr. Elisna, banyak pasien mengalami hal tersebut. “Hasil rontgent menunjukkan ada yang tidak normal, tapi masih minimal. Baru diberikan ke pasien tiga bulan kemudian. Waktu dia konsultasi, kelainannya sudah tidak minimal lagi,” sesalnya.

Tidak semua orang harus membawa hasil rontgent ke dokter paru. Pada orang normal dan tidak termasuk kelompok berisiko, lakukan deteksi dini terhadap diri sendiri dengan menilai faktor risiko, apakah termasuk kelompok berisiko atau tidak.

Selain usia dan rokok, faktor risiko lain yakni polusi udara, paparan dengan zat tertentu seperti radon, asbes, silika, kromium dan arsenik. Studi di Asia Tenggara dan Amerika Selatan menemukan, tingginya kadar arsenik dalam air minum berhubungan dengan peningkatan risiko kanker paru. Perlu hati-hati bila ada riwayat kanker dalam keluarga. “Bukannya kanker diturunkan, tapi ada risiko sel tumbuh tidak terkontrol,” jelas dr. Elisna.

 

Jenis-jenis kanker paru

Secara garis besar, ada 2 jenis kanker paru: kanker paru jenis karsinoma sel kecil (KPKSK) dan kanker paru jenis karsinoma bukan sel kecil (KPKBSK). Karakteristik sel keduanya berbeda. Pada KPKSK, kanker tumbuh kecil-kecil tapi banyak, seperti taburan oat (haver) dan cenderung menyebar secara luas. Kanker paru jenis ini lebih jarang dijumpai, hanya sekitar 10-15%. KPKSK sangat terkait erat dengan kebiasaan merokok; hampir tidak pernah ditemukan pada orang yang bukan perokok.

Jenis KPKBSK mencapai 85-90% dari kasus kanker paru.  KPKBSK terbagi 3 sub tipe utama: sel skuamosa karsinoma, adenokarsinoma, atau karsinoma sel besar. Yang bukan perokok, khususnya perempuan, lebih banyak menderita adenokarsinoma. Orang yang berusa lebih muda juga cenderung mengalami sub tipe ini. Karsinoma sel besar cenderung tumbuh dan menyebar  cepat, sehingga lebih sulit diobati.

“Dulu ketika pengobatan hanya ada kemoterapi dan radiasi, pemilahannya cukup sampai di jenis KPKSK dan KPKBSK. Dengan ditemukannya obat-obat baru, pemeriksaan harus lebih detil,” tutur dr. Elisna. Sub tipe pada KPKBSK harus diketahui, karena pengobatannya berbeda.

Benjolan di paru yang tidak ganas bisa jadi tumor.  “Kadang, TB berbentuk tumor, namanya tuberkuloma. Ini jinak dan pasti sembuh. Tapi kalau benjolan lain, ganaslah itu,” tandas dr. Elisna. (nid)

 

Bersambung ke: Stop Rokok, Titik!