menghentikan stigma virus corona, virus adalah musuhnya

Hentikan Stigma : Virus Adalah Musuhnya, Bukan Orang yang Menderita Karenanya

Jumlah penderita COVID-19 masih terus bertambah tiap hari, demikian pula korban yang meninggal. Ketakutan tentang musuh yang tidak terlihat ini menyebabkan banyak orang juga memusuhi penderita virus corona. Muncullah stigma terhadap mereka. Menghentikan stigma itu harus, karena musuh bersama kita adalah virus, bukan orang yang menderita karenanya.

Walau kita dianjurkan untuk memraktikkan physical distancing, sebagian orang sulit untuk menerapkannya, terutama mereka yang harus tetap bekerja di kantor, toko atau pekerja harian. Mereka termasuk kelompok yang rentan untuk terinfeksi virus SARS-CoV-2 ini.

Tidak jarang kelompok orang ini menjadi sasaran kemarahan dan dituduh tidak peduli dengan adanya wabah, dan parahnya dianggap sebagai penyebar COVID-19. Mereka yang dinyatakan positif pun mendapatkan beban ganda, melawan penyakit sekaligus stigma yang dilekatkan padanya. Faktanya, tidak ada satu orangpun yang ingin terinfeksi virus baru yang belum ada obatnya ini.

Stigma kerap kali berkaitan dengan penyebaran penyakit menular. Tetapi tahukah Anda bila itu sama buruknya dengan penyakit itu sendiri. Orang tidak hanya takut pada penyakitnya, tetapi juga pada stigma yang dilekatkan.

Hentikan stigma seperti kita ingin menghentikan penyebaran virus

Stigma dalam bentuk apapun tetaplah buruk. Ini tidak hanya berdampak buruk bagi kita, tetapi juga pada orang sakit atau yang terstigmatisasi.  

Perlu dipahami virus ini bisa menginfeksi secara tidak sengaja saat kita tidak berhati-hati (misalnya menyentuh wajah sebelum cuci tangan), bukan secara sengaja disebarkan oleh mereka yang terinfeksi. Ini sama seperti penyakit lainnya.

Dr. Johnsey Thomas, psikolog senior di Rumah Sakit Aster Prime, Hyderabad, India mengatakan, "Ketakutan dan kecemasan tentang penyakit dapat menghancurkan dan menyebabkan emosi yang tajam, terutama selama pandemi COVID-19 yang tidak pasti. Terlalu banyak kecemasan akan menyebabkan kerusakan."

Kepanikan, histeria dan stigma apa pun hanya menyebarkan penyakit lebih jauh dan menegasikan semua upaya yang dilakukan untuk menekan penyebarannya. Dan, itu mempengaruhi kesehatan mental pasien serta kesejahteraan orang banyak secara umum.

Ketakutan menyebarkan penyakit ke orang lain, khususnya orang yang merawatnya, juga sesuatu yang mengganggu perasaan pasien. “Kebanyakan orang takut tentang isolasi atau menyebarkan ke orang lain, yang membuat mereka trauma sampai mencoba untuk melarikan diri (dari isolasi). Ini merupakan ancaman yang lebih besar untuk penyebaran COVID-19,” kata Dr. Thomas.

Stigma tidak hanya menyebarkan ketakutan, tetapi juga berubah menjadi stres berat, kegelisahan atau bahkan depresi yang dialami pasien. Menjadi frustasi, ditolak atau malu di saat yang rentan seperti ini, ketika tubuh sangat membutuhkan perawatan juga akan memperlambat penyembuhan.

Banyak ahli mengatakan, peningkatan kepanikan dan ketakutan dapat mempengaruhi tes massal yang diadakan, yang merupakan kebutuhan saat ini. Membuat orang takut untuk melakukan tes dan menghentikan orang untuk mendapatkan bantuan yang mereka butuhkan.

Dr. Prajakta Gupte, psikiatris di Jupiter Hospital, Mumbai, India, mengatakan, “Takut akan penyakit ini tidak akan membantu. Perlu waspada dengan tetap berpikiran jernih. Jangkau orang-orang yang membutuhkan bantuan, atau mereka yang terisolasi. Jika Anda mempraktikkan pencegahan utama (cuci tangan dan pakai masker) tidak perlu khawatir berlebihan.”

Apa yang bisa kita lakukan?

Edukasi dan pemahaman tentang sifat virus SARS-CoV-2 ini adalah prioritas nomor satu melawan stigma. Semakin banyak orang yang sadar, maka kesalahpahaman akan berkurang.

Sama seperti Anda merawat diri sendiri, kesehatan mental orang di sekitar Anda, termasuk mereka yang berisiko tinggi terinfeksi juga perlu dijaga. Menyapa – dengan menelepon atau menggunakan aplikasi virtual – adalah cara pintar untuk membuat mereka merasa dicintai.

Menawarkan diri untuk membantu – sebatas yang Anda bisa – akan sangat berarti bagi orang yang membutuhkan.   

Dr. Gupte menambahkan, “Selama situasi krisis ini sangat normal untuk memiliki perasaan yang kacau. Tetapi fokuslah pada hal-hal yang bisa Anda kendalikan, berbaik hatilah pada diri sendiri dan orang-orang di sekitar Anda, bukan justru menambah stigma. Yoga atau meditasi sangat direkomendasikan untuk dilakukan selama masa-masa stres.”

Ingat, wabah COVID-19 adalah situasi yang perlu ditangani dengan tenang. Virus adalah musuhnya, bukan orang yang menderita karenanya. Hanya dengan kita beraksi secara bertanggungjawab, kita dapat mengalahkan virus ini. (jie)