Gejala Depresi pada Lansia Mirip Demensia, Kenali Tanda-tandanya | OTC Digest

Gejala Depresi pada Lansia Mirip Demensia, Kenali Tanda-tandanya

Orang tua kita tak lagi muda. Tataplah mereka dalam-dalam. Di balik wajah yang mulai dihiasi kerutan, mungkin tersembunyi depresi yang tidak kita sadari. Faktanya, prevalensi depresi pada orang lanjut usia (lansia) mencapai 15%, lebih tinggi daripada populasi umum yang berkisar 5-10%.

Mengenali gejala depresi pada orang lanjut usia (lansia) tak selalu mudah. “Pada populasi lansia, gejala-gejala depresi yang dominan memang berbeda,” ungkap dr. Suryo Dharmono, Sp.KJ(K) dari RS Mitra Keluarga Kelapa Gading, Jakarta.

Pada usia dewasa, gejala depresi umumnya meliputi murung, kehilangan gairah, perasaan lelah dan lesu, perasaan tidak berdaya, kehilangan konsentrasi, gangguan pola tidur, pikiran bunuh diri, rasa bersalah, dan perasaan tidak berguna. Sedangkan pada lansia, gejala yang dominan yakni keluhan psikosomatis (keluhan fisik) dan pseudodemensia.

“Sering masuk angin dan kena gangguan lambung adalah gejala depresi pada lansia yang sering muncul,” ujar dr. Suryo. Jangan abaikan bila orang tua kita bolak-balik mengeluhkan sakit kepala, pegal linu, maag, kembung, dan keluhan masuk angin lainnya. Bisa jadi, itu adalah tanda depresi.

Gejala lain berupa pseudodemensia. “Keluhan kognitif seperti merasa jadi lamban, sulit berpikir, dan gampang lupa, dominan muncul. Sehingga sering dikira mereka mulai pikun atau demensia,” papar dr. Suryo. Inilah yang disebut pseudodemensia atau demensia palsu. Pada pseudodemensia, yang menyebabkan kemunduran kognitif adalah kehilangan motivasi. Ini yang membedakan dengan demensia betulan, “Begitu depresinya pulih, fungsi kognitif pun akan kembali.”

Sayangnya, keluhan psikosomatis dan pseudodemensia yang ditunjukkan oleh lansia, tak jarang malah dianggap “lebay” oleh anak-anak atau pasangannya; karena saat diperiksa dokter, tak ditemukan adanya kelainan. Akhirnya, keluarga menganggap bahwa dia hanya cari perhatian. Inilah pentingnya kita membangun kesadaran mengenai depresi. Bila orang tua kita menunjukkan satu atau kedua gejala tadi, carilah second opinion ke dokter spesialis kejiwaan.

 

Pemeriksaan

Dokter akan melakukan tes fungsi kognitif dengan MMSE (mini mental state evaluation). Akan diajukan beberapa pertanyaan dan perintah sederhana. Misalnya tadi pagi sarapan apa; diminta menyebutkan tanggal, bulan, tahun sekarang; menghitung mundur.

Lansia dengan demensia akan berusaha menjawab meski jawabannya salah, karena tidak kehilangan motivasi. “Mereka menjawab dengan jawaban yang salah karena lupa, dan mencoba menyisipkan ingatan palsu,” papar dr. Suryo. Namun lansia yang depresi akan buru-buru menjawab “lupa” atau “tidak tahu”. Kehilangan motivasilah yang menyebabkan kemunduran kognitif mereka.

Untuk skrining depresi sejak awal, ada yang disebut GDS (geriatric depression scale). Ini adalah tes yang paling sederhana dan paling sering dipakai, terdiri dari 15 pertanyaan. Instrumen ini untuk melihat apakah orang tua kita memiliki risiko depresi. Bila ditemukan risiko, maka dilakukan evaluasi untuk gejala-gejala depresi yang lain. “GDS sudah divalidasi di Indonesia, dan sudah disosialisasikan untuk dipergunakan juga di Puskesmas, sehingga tiap pasien lansia bisa diskrining menggunakan GDS,” ucap dr. Suryo.

Mengapa lansia rentan depresi, dan apa dampak buruknya bila mereka depresi? Ini penjelasannya. (nid)

____________________________________________

Ilustrasi: People photo created by freepik - www.freepik.com