sleep apnea alias ngorok memperburuk infeksi covid-19

Bagaimana Ngorok Bisa Memperburuk Infeksi COVID-19

Gangguan atau penyakit paru sejak awal diketahui sebagai komorbid yang memperburuk infeksi COVID-19, dan membuat seseorang harus dirawat di ruang intensif (ICU). Dalam beberapa penelitian disebutkan juga bila ngorok atau obstructive sleep apnea (OSA) menjadi salah satu hal yang bisa memperburuk infeksi COVID-19.

Dalam dua buah penelitian skala kecil pada pasien COVID-19 yang mendapat perawatan di ICU, peneliti melaporkan bahwa sleep apnea terlihat 21,0% dan 28,6% pasien.

Temuan tersebut menyatakan bila sleep apnea alias ngorok, “berpotensi berkontribusi memperburuk hipoksemia (kondisi kekurangan oksigen dalam darah) dan badai sitokin pada pasien COVID-19,” tulis penelitian yang dipublikasikan di Journal of Clinical Sleep Medicine (JCSM).

Namun menurut salah satu peneliti, profesor Atul Malhotra, MD, dari University of California, San Diego School of Medicine, mekanisme yang berhubungan antara sleep apnea dan perburukan hasil COVID-19 belum diketahui jelas.

“Beberapa penelitian menyatakan bila sleep apnea merupakan faktor risiko pneumonia. Demikian pula gangguan tidur lainnya – walau tanpa sleep apnea  – dihubungkan dengan risiko mengalami pneumonia dan respons vaksinasi yang tidak lemah,” ungkap Prof. Malhotra, dilansir dari Pulmonology Advisor.

Dr. Cristina Salles, PhD, dan Hayssa Mascarenhans Barbosa, dari Bahiana School of Medicine and Public Health, di Savador, Brasil, dalam komentarnya di JCSM menegaskan perlunya penelitian yang menjelaskan derajat gangguan tidur yang terkait sleep apnea sehingga ia bisa memperburuk proses inflamasi di paru pada pasien COVID-19.

Kemungkinan hubungan antara ngorok dan perburukan infeksi COVID-19

Dalam beberapa artikel dijelaskan ada hubungan antara daya tahan tubuh, kualitas tidur dan reaksi inflamasi (peradangan). Salah satu peneltian - di Journal of Allergy and Clinical Immunology 2018 - melihat tikus yang kekurangan tidur mengalami proses inflamasi yang lebih tinggi di saluran napas, dibanding tikus yang cukup tidur.

Berdasarkan data tersebut para ahli mulai bertanya apakah ganguan tidur seperti sleep apnea (ditandai dengan ngorok) akan menjadi kondisi yang kondusif untuk proses inflamasi paru-paru pada pasien COVID-19?

Pertanyaan serupa mulai muncul dalam literatur medis. McSharry dan Malhotra menunjukkan bahwa  obesitas, asma, diabetes, hipertensi, penyakit kardiovaskular, dan penyakit paru obstruktif kronik, juga kondusif untuk inflamasi paru.

Selain itu, dalam studi yang sama, penulis mempertanyakan kemungkinan sleep apnea berkontribusi pada hipoksemia pada pasien COVID-19 mengingat hipoventilasi obesitas (kesulitan bernapas pada orang obesitas) dan sleep apnea berhubungan dengan hipoksemia, yang dapat menjadi faktor pemburuk hipoksemia pneumonia COVID-19.

Sejalan dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut, hipotesis mengenai kekurangan tidur, sleep apnea dan COVID-19 mulai membuahkan hasil di lapangan. Bhatraju, dkk., mengevaluasi 24 pasien COVID-19 di Washington, AS, dan mendapatkan bahwa 21%-nya mengalami sleep apnea. Selain itu, Arentz, dkk., meneliti 21 pasien COVID-19 yang dirawat di ICU. Mereka mendapati bila 28,6% memiliki komorbid sleep apnea. (jie)

Baca juga : Ngorok Bukan Tanda Tidur Pulas