Stunting menjadi masalah besar di Indonesia, karena tidak hanya berdampak pada tinggi badan tetapi juga kualitas otak dan kesehatan jangka panjang. Selain menjaga asupan gizi, mencegah anemia sejak masa remaja, menjaga kesehatan usus berperan untuk mencegah stunting.
Di dalam usus kita hidup trilyunan mikroorganisme, di mana keseimbangan ekosistem mikroorganisme (disebut flora normal usus atau normobiosis) berperan pada banyak hal, termasuk membantu mencegah stunting.
Kehamilan merupakan salah satu faktor penting yang berkontribusi pada kolonisasi awal bakteri dan keberagaman mikroorganisme usus bayi. Apabila mikrobiota usus yang sehat lambat terbentuk pada bayi bisa berdampak pada gizi kurang dan stunting.
Ada perubahan komposisi mikrobiota usus selama kehamilan, populasi bakteri baik (probiotik) seperti Bifidobacterium dan Lactobacillus berkurang, terutama kehamilan dengan komplikasi (preeklamsi, diabetes hingga obesitas).
“Ibu hamil dengan gangguan metabolik, seperti obesitas, diabetes, perlemakan hati, berdampak pada komposisi mikrobiota bayi mereka, berpotensi mengganggu sistem imun anak,” ujar Prof. Dr. Ir. Endang S. Rahayu, Guru Besar Bidang Mikrobiologi Pangan, Universitas Gadjah Mada, kepada OTC Digest.
Prof. Trisye, demikian ia biasa disapa, menjelaskan jika terjadi kondisi disbiosis (flora usus didominasi oleh bakteri patogen) di masa bayi, karena faktor seperti prematuritas, persalinan caesar, masuk NICU atau penggunaan antibiotik, perkembangan dan fungsi dari banyak sistem fisiologis akan terpengaruh, menyebabkan penyakit.
Pemeliharaan perkembangan mikrobiota usus di awal kehidupan sangat penting untuk mencapai pematangan mikrobiota usus. Tahun pertama kehidupan dianggap sebagai “jendela kesempatan” penting untuk memanipulasi mikrobioma dan melatih sistem kekebalan tubuh, untuk meningkatkan kesehatan jangka pendek dan panjang.
“Bakteri baik (probiotik) akan menguatkan sel-sel epitel usus, menstimulasi sistem imun,” imbuh Prof. Trisye. Sel epitel usus adalah sel yang melapisi permukaan usus, berperan penting dalam pencernaan, penyerapan nutrisi dan perlindungan dari infeksi.
Hubungan antara gizi, disbiosis dan stunting
Faktor penyebab stunting sangat beragam, mulai dari asupan yang tidak adekuat (konsumsi karbohidrat dan lemak tinggi, kurang protein dan mineral/vitamin), kurang gizi, hingga faktor higienitas lingkungan (ada risiko infeksi).
Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) 2018 mencatat 53,4% anak usia 6-23 bulan makan tidak beragam. Anak menjadi kurang energi, kurang mikronutrien dan serat. Padahal serat yang tidak bisa dicerna usus adalah sumber makanan bagi bakteri probiotik.
Kombinasi antara gizi yang tidak cukup dan faktor lingkungan meningkatkan risiko pediatric environmental enteropathy (PEE) atau gangguan usus halus yang bisa mengarah pada malnutrisi, gangguan tumbuh kembang (stunting) dan masalah kesehatan lain pada anak.
“Pada PEE terjadi inflamasi dan disbiosis mikrobiota usus, berdampak pada penyerapan nutrisi yang tidak optimal, metabolit penting (asam lemak rantai pendek/ SCFA) turun, gangguan imunitas. Terjadi malnutrisi,” terang Prof. Trisye.
Disbiosis juga bisa menyebabkan penurunan neurotransmitter (zat kimia otak yang berfungsi sebagai penghantar pesan/komunikasi antarsel otak), berdampak pada gangguan perkembangan otak.
Probiotik berperan dalam mengembalikan keseimbangan mikrobiota usus (dari disbiosis menjadi normobiosis), mendukung usus yang sehat. “Usus yang sehat penyerapan nutrisi maksimal, sistem imun baik, produksi metabolit yang mendukung kesehatan otak dan organ penting lain meningkat,” terang Prof. Trisye.
Usus sehat vs usus tidak sehat
Pada kondisi usus sehat penuh dengan bakteri baik yang melindungi usus dari serangan patogen. Sel epitel dan mukosa sehat membuat penyerapan nutrisi optimal, pertumbuhan dan pembentukan tulang berlangsung dengan baik. Mencegah stunting.
“Saluran cerna yang sehat sistem imun tubuh kuat sehingga tidak mudah sakit. Metabolisme lemak dan kalori optimal sehingga menurunkan risiko obesitas, profil lipid, gula darah, kolesterol pun turut membaik,” Prof. Trisye memaparkan.
Sebaliknya, lanjutnya, pada kondisi usus tidak sehat berkembang bakteri patogen, merusak sel epitel, villi (bulu getar di usus) tidak berkembang dengan baik, integritas mukosa menurun, permiabilitas sel epitel meningkat, patogen dapat berpindah ke sel darah. Terjadi inflamasi.
Bila ada inflamasi, imunitas menurun, memicu diare. Penyerapan nutrisi tidak optimal, penurunan energi. Berujung stunting.
LcS dan kesehatan pencernaan
Kondisi disbiosis terjadi pada anak-anak yang mengalami malnutrisi. Penelitian Prof. Trisye di Yogyakarta (dipublikasikan di jurnal Microorganisms tahun 2021) pada anak-anak dengan malnutrisi sedang (risiko PEE lebih tinggi) menunjukkan terjadi penurunan populasi bakteri baik (jenis Bifidobacterium) dan SCFA yang lebih rendah, terutama asam propionat dan asam butirat.
Sebagai informasi, SCFA berfungsi antara lain membantu penyerapan nutrisi, mencegah iritasi usus, meningkatkan fungsi sel-sel usus besar, hingga mencegah kanker usus besar.
“Konsumsi rutin setiap probiotik Lactobacillus casei strain Shirota (LcS) berperan penting mencegah diare akut pada anak-anak,” kata Prof. Trisye.
Penelitian Mai, TT. et al, juga menunjukkan konsumsi rutin susu fermentasi berisi LcS terbukti dapat mencegah terjadinya konstipasi, diare, serta memperbaiki status nutrisi anak-anak di Vietnam. LcS juga dapat mencegah terjadinya gangguan saluran pernapasan.
Prof. Trisye menekankan konsumsi rutin probiotik diperlukan sejak dini, di segala usia – pada bayi boleh diberikan sejak ia bisa mengonsumsi makanan keluarga – hingga di usia produktif sebagai upaya pencegahan stunting secara holistik. (jie)