Presiden RI Joko Widodo tidak memilih lockdown
lockdown_corona_COVID_masker

Presiden RI Joko Widodo Tidak Memilih Lockdown, dan Melarang Pemerintah Daerah Melakukan Lokcdown

Presiden RI Joko Widodo tidak memilih lockdown, meski sejumlah negara melakukannya demi menekan penyebaran virus corona COVID-19. Di antaranya Tiongkok, Italia, Spanyol, Perancis, Inggris, Denmark, bahkan negara tetangga kita Malaysia. Kanada juga dilaporkan menutup semua perbatasannya. Hanya pengunjung dari Amerika Serikat yang boleh masuk. Warga yang tengah berada di luar negeri lalu menunjukkan gejala COVID-19, untuk sementara tidak diperbolehkan pulang ke Kanada. Adapun mereka yang baru kembali dari luar negeri (tanpa gejala), diminta untuk melakukan karantina diri selama 14 hari.

Bukan tanpa alasan sejumlah negara memberlakukan lockdown. Penyebaran COVID-19 makin hebat dan luas. Di seluruh dunia pada hari ini (17/3/2020) pukul 10.10 WIB, infeksi telah mengenai 182.605 orang di 162 negara. Di Indonesia, hari ini kasusnya bertambah lagi menjadi 172, dari 134 kemarin. Namun, keputusan Presiden RI Joko Widodo tidak memilih lockdown pun punya alasan.

 

Presiden RI Joko Widodo tidak memilih lockdown

Sebagian pakar di bidang medis menilai perlunya melakukan lockdown. Seperti diucapkan oleh Dr. dr. Aman B. Pulungan, Sp.A(K), FAAP, FRCPI(Hon), dalam diskusi di kantor IDAI di Jakarta, Senin (16/3/2020). “Dari awal IDAI menyarankan lockdown; tutup akses keluar dan masuk Indonesia. Memang kita tidak boleh bereaksi berlebihan, tapi bukan berarti tidak melakukan apa-apa. Jangan sampai penyebaran COVID-19 menyebabkan collateral damage,” tutur Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (PP IDAI) ini.

Lockdown berarti mengunci akses keluar masuk suatu wilayah/negara, dan menghentikan hampir seluruh pergerakan manusia di dalam wilayah tersebut. Bila ini dilakukan, berarti semua fasilitas publik ditutup. Termasuk sekolah, universitas, tempat umum, dan transportasi umum. Perkantoran bahkan pabrik pun harus ditutup, dan segala keramaian dilarang. Aktivitas warga sangat dibatasi. Bila tidak benar-benar penting, warga diminta tidak keluar rumah. Italia bahkan menerapkan jam malam.

Italia merupakan negara dengan kasus COVID-19 terbanyak di Eropa, dan merupakan episentrum (pusat penyebaran) penyakit ini di Benua Biru. Al Jazeera melaporkan, kini tercatat 27.980 kasus di Italia, dengan 2.158 kematian. Ini merupakan kematian terbanyak kedua akibat COVID-19 setelah Tiongkok.

Presiden RI Joko Widodo tidak memilih lockdown. Orang nomor 1 RI ini bahkan melarang pemerintah daerah melakukan lockdown wilayah.

Memang, banyak sekali hal dan faktor yang perlu dipertimbangkan sebelum mengambil keputusan untuk lockdown. “Di negara kita ada 17.000 pulau, 34 provinsi, dengan tingkat edukasi dan sosioekonomi yang bermacam-macam. Tentu semua ini harus dipikirkan,” ungkap Ketua UKK Infeksi dan Penyakit Tropis IDAI, Dr. dr. Anggraini Alam, Sp.A(K).

Bagaimanapun di Indonesia, masih banyak orang yang menggantungkan rezeki dengan berada di luar rumah. Misalnya mereka yang berdagang di jalan/tempat umum, pemulung, buruh pabrik, hingga mereka yang bekerja di ladang. Mereka tidak punya privilese untuk bekerja dari rumah. Dan seandainya diputuskan lockdown, suplai makanan dan fasilitas kesehatan harus tetap tersedia untuk seluruh masyarakat. Di Wuhan misalnya, supermarket tetap tersedia dengan dijatah, dan pemerintah membuat dapur umum.

 

Isolasi mandiri dan karantina mandiri

Banyak negara yang sukses menekan penyebaran COVID-19 tanpa melakukan lockdown. Misalnya Jepang, yang ‘hanya’ menutup sekolah sejak Februari, serta membatasi aktivitas warga. Hal serupa juga dilakukan oleh Singapura, Hong Kong, dan Vietnam. Langkah yang dilakukan Korea Selatan lebih progresif lagi. Negara ini melakukan tes COVID-19 secara massif dan cepat, hingga menyediakan klinik bergerak sehingga warga tidak harus datang ke RS/klinik.

Intinya, lockdown dimaksudkan untuk mencegah transmisi virus akibat kontak sosial, dan dilakukan secara ketat. Bila setiap orang sadar dan disiplin untuk melakukan social distancing, mungkin lockdown total tidak diperlukan. “Misalnya Vietnam. Penanganan di sana jauh lebih bagus daripada Italia. Yang dilakukan adalah pembatasan pergerakan manusia, sehingga transmisi virus bisa ditekan. Kalau social distancing berjalan baik, maka efektivitasnya bisa mirip dengan lockdown,” papar Ketua Bidang 3 PP IDAI Prof. Dr. dr. Hartono Gunardi, Sp.A(K).

Social distancing meliputi karantina mandiri dan isolasi mandiri. Apa bedanya? “Karantina mandiri itu untuk orang sehat. Misalnya pasien di Korea Selatan. Begitu dinyatakan sehat, boleh pulang lalu melakukan karantina mandiri selama 14 hari,” tutur Dr. dr. Anggi. Hal ini juga dilakukan oleh Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau, setelah istrinya, Sophie Gregoire, dinyatakan positif COVID-19.

Adapun isolasi mandiri ditujukan bagi orang yang sudah menunjukkan gejala mirip COVID-19, tapi belum ada tanda sesak napas. Kelompok ini disebut ODP (orang dalam pemantauan). “Ketika melakukan isolasi mandiri di rumah, upayakan benar-benar terpisah dari anggota keluarga lain,” tegas Dr. dr. Anggi.

Ruangan di rumah yang dipakai bersamaan misalnya kamar mandi, harus segera dibersihkan dengan antiseptik setelah digunakan oleh orang yang diisolasi. Orang yang diisolasi pun harus mengenakan masker saat keluar kamar. “Bila keluarga mau memberi makan, gunakan peralatan makan sendiri, dan berikan makanan dengan jarak lebih dari satu meter,” lanjut Dr. dr. Anggi. Interaksi di dalam rumah bisa lebih bebas bila seluruh anggota keluarga memang melakukan isolasi mandiri. Hanya saja, tidak boleh keluar rumah selama minimal 14 hari.

Mereka yang melakukan karantina mandiri maupun isolasi mandiri harus bekerja sama dan berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan setempat, untuk melaporkan perkembangan kondisi dari waktu ke waktu. “Karena bisa saja saat isolasi mandiri lalu mengalami sesak. Statusnya meningkat dari ODP menjadi PDP atau pasien dalam pengawasan,” tandasnya.

Kita sangat berharap wabah COVID-19 di Indonesia dan dunia segera mereda, dan semoga negara kita tak perlu mengikuti jejak sejumlah negara memberlakukan lockdown. Tentu bukan tanpa alasan mengapa Presiden RI Joko Widodo tidak memilih lockdown. Namun, opsi untuk menutup semua perbatasan agar tidak ada orang yang keluar masuk Indonesia seperti yang dilakukan Kanada, mungkin perlu dipikirkan. Menutup akses keluar masuk daerah yang diduga menjadi episentrum COVID-19 seperti area Jabodetabek, mungkin juga diperlukan. (nid)

____________________________________________

Ilustrasi: Medical photo created by freepik - www.freepik.com