memutus ancaman bunuh diri akibat depresi

300 Juta Orang di Dunia Alami Depresi, Bagaimana Memutus Ancaman Bunuh Diri Akibat Depresi

Pemahaman masyarakat tentang depresi masih kurang. Banyak orang menganggap penderita depresi sebagai orang yang ‘lemah’ mental. Padahal, depresi lebih dari gangguan mental, tetapi juga mempengaruhi fisik penderitanya. Depresi bisa memicu ide bunuh diri. Deteksi dini dan pengobatan yang benar bisa memutus ancaman bunuh diri akibat depresi.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat pada tahun 2017 gangguan depresi menduduki peringkat keempat penyakit di dunia. Sekitar 300 juta orang dari total populasi dunia mengalami depresi. Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) 2018 mengeluarkan data sekitar 6,1% (15,6 juta) orang Indonesia mengalami depresi.

Meski demikian, tingginya angka prevalensi gangguan depresi tidak diikuti dengan meningkatnya pemahaman mengenai gangguan ini di dalam masyarakat. Terlebih lagi ada banyak stigma yang beredar mengenai depresi dan menghambat penderita depresi mendapatkan dukungan yang mereka butuhkan untuk bisa menjalani kehidupan normal.

Depresi merupakan suatu kondisi medis yang dapat dikategorikan menjadi tiga jenis gejala: gejala terkait suasana hati, gejala kognitif dan gejala fisik.

Gangguan terkait suasana hati bisa berupa mood yang buruk, minat yang rendah, kecemasan atau motivasi yang rendah. Gejala yang terkait kognitif ditunjukkan dengan gangguan konsentrasi, kesulitan dalam membuat rencana, pelupa, lambat dalam menanggapi dan bereaksi, dsb.

Sementara dampak depresi pada fisik seperti nyeri, gangguan tidur (insomnia), gangguan nafsu makan, disfungsi seksual dan meningkatkan risiko penyakit kronis seperti diabetes dan hipertensi.

Walaupun bentuk utama depresi berupa suasana hati yang buruk dan perasaan sedih, penting untuk mengingat bahwa gejala-gejala kognitif dan fisik dapat berkontribusi terhadap gangguan fungsi pada pasien dan memengaruhi kualitas hidup mereka.

Ide bunuh diri

Pada beberapa pasien, depresi dapat memunculkan pikiran bunuh diri hingga tindakan bunuh diri itu sendiri. WHO pada tahun 2017 memperkirakan bahwa setiap 40 detik terjadi kasus bunuh diri.

Jurnal internasional Lancet (2007) menyatakan 30% dari total populasi dunia mengalami gangguan mental, di mana 1-3%nya dengan gangguan mental yang serius. Sayangnya 65-90% tidak mendapatkan perawatan. Ini berkorelasi dengan tingginya kasus bunuh diri, yakni 800.000 kasus per tahun.

Di sinilah pentingnya deteksi dini, sehingga bisa segera dilakukan perawatan / pengobatan agar bisa meningkatkan remisi, menghindari terjadinya kekambuhan, mengurangi beban emosi dan beban keuangan yang timbul oleh gangguan depresi ini.

Gangguan kognitif dan fungsi

Gangguan kognitif akibat depresi berkontribusi terhadap gangguan fungsi di lingkungan kerja, masyarakat, maupun kehidupan berkeluarga.

Hal tersebut telah diteliti oleh Prof. Pratap Chokka, Profesor Klinis & Konsultan Psikiater dari Canada dala studi AtWoRC. Temuan utama dari penelitian ini menunjukkan bahwa gejala kognitif pada depresi signifikan berkontribusi terhadap penurunan produktivitas kerja atau gangguan fungsi dalam kegiatan sehari-hari, misalnya gangguan konsentrasi, kesulitan dalam mempertahankan fokus, pelupa, lambat dalam menanggapi percakapan atau mengelola tugas sehari-hari.

Pengobatan dan pemulihan

Tujuan pengobatan depresi adalah agar penderitanya mengalami pemulihan fungsi sepenuhnya. Artinya, ia tidak hanya merasa jauh lebih baik, tetapi mampu memulihkan fungsi mereka di rumah, di tempat kerja dan terintegrasi kembali dengan masyarakat.

Selama ini ada mispersepsi tentang pengobatan depresi bahwa antidepresan tidak bermanfaat bagi pasien dan memiliki banyak efek samping. Membuat penderita atau keluarganya enggan melakukan pengobatan.

Menurut Dr. dr Margarita Maramis, SpKJ (K), Ketua Divisi Mood Disorder Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), gangguan depresi yang tidak diobati berdampak buruk. Seperti meningkatkan keparahan gejala sekaligus menurunkan kualitas hidup, meningkatkan risiko perilaku berbahaya seperti konsumsi narkoba dan ide bunuh diri.

Penurunan nafsu makan dan gangguan tidur menyebabkan penderita akan sulit sembuh bla menderita penyakit tertentu.

Prof. Vladimir Maletic, MD, profesor klinis neuropsikiatri di Fakultas Kedokteran, University of South Carolina, Amerika Serikat, menjelaskan bahwa antidepresan telah mengalami perkembangan. Di mana antidepresan baru tidak hanya memperbaiki gejala-gejala terkait suasana hati, tetapi juga mengatasi gejala-gejala kognitif sehingga membantu penderita mencapai pemulihan fungsional.

Antidepresan jenis baru juga dilaporkan memiliki efek samping yang lebih minimal. Dengan dukungan orang terdekat dan pengobatan yang sesuai penderita depresi bisa pulih sepenuhnya. (jie)